Rabu, 09 Juni 2010

SETIAP ANAK TERLAHIR MENJADI FILOSOF

Anak-anak terlahir menjadi filosof. Perhatikanlah anak-anak. Mereka selalu ingin tahu. Mereka selalu bertanya kenapa, terus mencari alasan, pembenaran, dan pola-pola tertentu. Pencarian mereka tidak kenal batas. Di belakang setiap jawaban, mereka kembali menemukan pertanyaan lain yang akan ditanyakan.
Asal mula filsafat berangkat dari rasa ingin tahu manusia. Menarik sekali bagaimana Jostein Gaarder dalam novelnya Dunia Sophie memadukan karya fiksi dengan pelajaran sejarah filsafat dari perkembangan awalnya di Yunani sampai pemikiran filsafat mutakhir abad duapuluh satu. Dalam novel dengan teknik cerita berbingkai ini, seorang guru filsafat memberikan pelajaran filsafat pada seorang gadis cilik usia belasan dengan berkirim surat secara rahasia. Kata sang guru misterius ini pada si gadis cilik Sophie, “Satu-satunya yang kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah RASA INGIN TAHU“. Inilah yang dipunyai anak semenjak lahir.
Kepekaan akan rasa takjub dan rasa ingin tahu inilah yang dipunyai oleh para filosof dan anak-anak. Tidak butuh waktu yang lama bagaimana mereka bisa menggali dasar-dasar kepercayaan atau keyakinan dan konsep-konsep yang sudah tertanam sebelumnya. Anak-anak melempar pertanyaan-pertanyaan tak terduga pada orang tua mereka yang kedengarannya naif namun berisi, seperti: Siapa yang menciptakan aku? Dulunya aku dimana? Kenapa semesta ini ada? Darimana melakukan ini baik dan itu buruk? Kenapa orang bisa saling bunuh? Kenapa begini, kenapa begitu? Bukankah pertanyaan-pertanyaan ini juga yang diajukan para filosof sepanjang zaman?
Ironisnya, karena kita orang dewasa telah begitu tenggelam dalam rutinitas keseharian pemenuhan segala kebutuhan dunia nyata, kita pun kehilangan rasa takjub dan kagum seperti cara pandang anak-anak memandang diri mereka dan dunia semesta. Padahal rasa takjub dan kagum pada segala sesuatu yang meski kelihatan sederhana adalah dasar dari keyakinan dan pengetahuan tentang Ketuhanan. Rudolf Otto seorang ahli Perbandingan Agama menamakan getar takjub dan kagum ini dengan tremendus et fascinatum.
Kehidupan rata-rata orang dewasa kebanyakan dangkal. Mereka tidak ada perhatian lagi pada hal-hal yang mendasar dalam hidup. Orang dewasa tenggelam dalam rutinitas kehidupan pemenuhan kebutuhan hidup dan menghindari pertanyaan-pertanyaan filosofis dengan alasan tidak praktis dan pragmatis. Lain dengan anak-anak, mereka punya banyak waktu untuk mempertanyakan semua itu. Dengan insting dan imajinasi mereka selalu bertanya dan tanpa didahului oleh konsep-konsep pandangan dunia. Mereka murni dari segala doktrinasi segala macam ide, terbuka pada gambaran dunia yang lebih luas. Lantas, apa reaksi kita saat sang anak mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti di atas? Bagaimana menjawabnya? Sayangnya, ketika filosof cilik ini bertanya, seperti, “Kenapa Big Bang terjadi?” godaan jawaban kita orang dewasa biasanya selalu menipu, atau malu mengakui tidak tahu.
Salah satu cara jawaban menipu yang kita orang dewasa berikan pada si anak adalah karena tujuan pertanyaan semacam ini hanyalah membuang-buang waktu saja. Sang filosof cilik mungkin akan mendapatkan jawaban sekenanya, atau mungkin juga kena damprat seperti: “Ya, memang begitu adanya. Bodoh sekali pertanyaanmu”. Kalau si anak belajar bahwa pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut berujung dengan jawaban yang tidak mengenakkan perasaan si anak, barangkali, bahkan dengan omelan tersebut, tentu si anak akan berhenti bertanya lagi, dan pergi menonton televisi, main Play Station atau berselancar di dunia maya internet.
Cara lain bagaimana kita menipu anak-anak yang mengajukan pertanyaan diatas yaitu dengan menjawabnya dengan lebih serius tapi dengan kepura-puraan bahwa mereka akan menerima jawabannya dengan mudah, dan hanya sampai di situ saja. Indoktrinisasi agama menyediakan penopang paling memadai di sini, bahkan bagi yang tidak punya atau percaya pada agama sekalipun. Darimana asalnya semesta ini? Tuhan lah yang bikin. Kenapa melakukan ini-itu salah? Karena begitulah yang dikatakan Tuhan. Jawaban-jawaban seperti ini mungkin bisa memuaskan anak-anak, untuk sementara waktu, tapi jawaban-jawaban ini kebanyakan tidak memadai lagi. Jawaban seperti ini tidak betul-betul berhubungan dengan misteri kekaguman anak-anak yang mereka selalu ingin cari jawabannya, atau kalau tidak begitu, mereka akan menggantikan misteri tersebut dengan hal lain yang tidak kurang mengagumkan mereka.
            Sebagai contoh, jika si anak bertanya dalam semangat pertanyaan yang rasional tentang asal usul semesta, jawaban yang tersedia diberikan dengan suatu nuansa otoritas bahwa Tuhan lah yang membuat, seakan-akan jawaban itu sudah final. OK, cukup! Kamu tidak boleh lagi bertanya, apalagi kalau pertanyaannya nanti berlanjut dengan – Lalu? Tuhan dari mana asalnya? Kamu sudah berdosa menanyakan hal itu. Bagaimana bisa anak-anak berdosa karena bertanya? Atau, orang dewasa lalu berusaha berbohong atau mengalihkan perhatian si anak dengan menawarkan eskrim rasa vanilla atau coklat. Tidakkah kita orang dewasa di sini sudah seperti mencekik dan membunuh rasa ingin tahu si anak, dengan memberikan jawaban otoritatif agama? Kenapa harus menipu anak-anak? Alasan yang jelas di sini adalah karena kita orang dewasa sendiri tidak tahu jawabannya dan ketidak-pedulian kita bisa menjadi sesuatu yang keras yang kita miliki, khususnya pada anak-anak kita sendiri.
            Alasan selanjutnya adalah pertanyaan filosofis memang susah untuk dipikirkan. Kebanyakan orang dewasa jarang yang tertarik untuk memikirkannya dibanding kebanyakan anak-anak. Tentunya akan berat, susah, bikin sakit kepala bertanya jawab dengan anak-anak kita sendiri. Lalu, kita orang-orang dewasa pun mengakhiri pencarian makna hidup yang sebenarnya.
            Alasan lainnya adalah karena kita menemukan pertanyaan filosofis tidak begitu nyaman untuk dipikirkan. Ini tidak hanya karena ada orang yang menentang kita dengan kefanaan hidup dan kemungkinan ketidak-berartian hidup yang singkat ini. Pertanyaan filosofis bisa juga menimbulkan gangguan syaraf intelektual. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi menyingkapkan bahwa apa yang menjadi dasar pijakan hidup kita – apa yang kita indera dan kelihatan sudah jelas semua – hanyalah ilusi. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi mengungkapkan nantinya bahwa kita tercerabut pada omong kosong intelektual. Kenapa? Karena berpikir secara filosofis adalah mendorong segala daya pikir untuk mencari kebenaran dan arti kehidupan hakiki.
            Apapun alasan kenapa kita menghentikan pertanyaan filosofis anak-anak, TIDAK SEHARUSNYA itu dilakukan, paling tidak dalam jangka waktu lama. Kenapa? Pertama, karena orang yang sudah terkondisi untuk tidak mempertanyakan segala sesuatu, atau yang terjebak dalam penjelasan agama absolut berarti hidup dalam kemiskinan. Itu berarti kita tidak mensyukuri anugerah akal yang diberikan Tuhan pada manusia dengan tidak menggunakannya semaksimal mungkin. Sama saja mereka hidup seperti ikan mas dalam toples kaca yang telah kehilangan indera bahwa diluarnya ada kehidupan tak terbatas, orang yang tidak punya rasa akan misteri yang melingkupi hidupnya di luar kehidupan keseharian mereka. Hidup yang tidak dipikirkan, tidak ada inrospeksi adalah tidak layak dijalani.  
            Kedua, dan yang lebih penting lagi, karena orang yang tak pernah melihat ke belakang, yang hidup tanpa sama sekali melakukan introspeksi, berpikir akan hidup, tidak hanya hidup dangkal, tapi juga sangat mengundang bahaya. Mereka mudah tergelincir jatuh mengambil sikap dan kebiasaan mental tanpa mempertanyakannya dan tidak menguji semua asumsi yang ada disekelilingnya, seperti menjadi pengikut moral sapi. Moral sapi tentu saja bisa melakukan hal yang benar. Tapi mereka tidak melakukannya karena hal itu benar. Mereka melakukannya karena hal itulah yang dilakukan sapi lainnya. Kalau kumpulan sapi lainnya membuka arah akan kemana, apakah akan berkelana menuju daerah kebencian dan permusuhan, moral sapi mengikutinya. Suatu masyarakat dengan moral sapi pastinya sangat membahayakan.
            Ketiga, adanya anggapan umum bahwa keahlian berpikir filosofis tentang pertanyaan mendasar kehidupan bisa membahayakan secara langsung nilai pragmatis dalam hidup. Tapi yang sebenarnya adalah dengan latihan berpikir filosofis akan tercipta keahlian berpikir kritis, tidak hanya menerima pendapat orang lain, mencerna dan menimbang, memformulasikan pernyataan yang tepat, mengikuti jalur berpikir logis atau menjawab sesuatu dengan masuk akal yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan. Kemampuan ini dapat menghasilkan imunisasi seumur hidup melawan virus lidah beracun para salesmen, giur iklan di televisi dan rayuan fanatis kelompok  agama.
            Berpikir memaksimalkan kemampuan akal tentang pertanyaan mendasar kehidupan adalah bagian penting dalam hidup. Memang benar, kemampuan akal manusia terbatas, tapi siapa yang tahu dimana batasnya. Malahan, dalam kitab suci Al-Qur’an sendiri banyak sekali ayat yang memerintahkan, mendorong, dan menantang manusia untuk selalu memikirkan segala sesuatu dalam hidup. Karena dengan berpikir dan bertanya lah yang membuat kita sepenuhnya menjadi manusia. Tidak seharusnyalah kita membendung pertanyaan-pertanyaan kritis dan memadamkan rasa ingin tahu anak-anak. Justru kita seharusnya mendorong mereka dengan aktif, menjadi manusia yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.
            M. Isran, Instruktur Bahasa Inggris LBPP-LIA 

Postmodernisme – Sebuah Gambaran

Postmodernisme sulit didefenisikan, karena pendefenisian akan melanggar dasar pemikiran postmodern itu sendiri, karena istilah yang pasti, batasan-batasan, atau kebenaran absolut sebenarnya tidak ada. Istilah “posmodernisme” tetap kabur, karena siapa saja yang mengaku orang-orang posmodern punya kepercayaan dan pendapat yang beragam tentang hal ini.

Apakah nasionalisme, politik, agama, dan perang hasil dari mentalitas manusia primitif? Apakah kebenaran hanya sebuah ilusi? Bagaimana bisa Kristianitas mengklaim sebagai yang unggul atau pendikte moral? Daftar pertanyaan prihatin yang senada akan terus bergulir khususnya bagi yang menggeluti filsafat postmodern dan gaya hidup. Bagi beberapa orang, pertanyaan ini berakar dari hilangnya kepercayaan dalam dunia Barat yang korup. Bagi yang lainnya, kebebasan dari otoritas tradisional lah isunya. Perhatian mereka berkisar pada tetap bergantungnya Barat pada moral agama tradisional, nasionalisme, kapitalisme, sistem politik yang tidak masuk akal, serta praktik dan dampak promosi “perdagangan/trade-off” yang tidak bijak dan merugikan antara sumber daya energi dan lingkungan, untuk perolehan ekonomis semata
Bagi posmodernis, gaya hidup masyarakat dunia Barat sudah ketinggalan jaman. Mereka berselubung di bawah birokrasi umum tak berwajah. Posmodernis tanpa henti mengkritik masyarakat modern bahwa masyarakat Barat harus bergerak maju meninggalkan ke-primitif-an pikiran dan praktik tradisional kuno mereka.
Perhatian masyarakat barat, seperti contoh, seringkali berhubungan dengan pembangunan gedung-gedung dan penggunaan senjata penghancur massa, mendorong konsumerisme tanpa batas yang mengakibatkan masyarakat melakukan pembuangan sia-sia dengan mengorbankan sumber daya alam dan lingkungan, sementara itu pada saat yang sama tidak melayani kebutuhan orang banyak dengan adil dan berimbang.

Para Postmodernis percaya bahwa klaim Barat akan kebebasan dan kemakmuran tidak lebih dari janji kosong dan tidak memenuhi kebutuhan kemanusiaan. Mereka percaya bahwa kebenaran adalah relatif dan kebenaran itu terserah pada setiap individu yang menentukannya. Kebanyakan mereka percaya bahwa nasionalisme hanya membangun dinding-dinding, mengundang musuh, dan menghancurkan “Mother Earth”, sementara itu kapitalisme menciptakan jurang pemisah antara masyarakat “yang berpunya dan yang tidak punya”, dan agama mengakibatkan friksi moral dan perpecahan diantara masyarakat.
Posmodernisme mengaku sebagai penerus zaman Pencerahan abad 17. Selama 4 abad, “para pemikir posmodern” telah mempromosikan dan mempertahankan cara Era Baru mengonseptualisasikan dan merasionalisasikan kehidupan demi kemajuan manusia. Para Posmodernis biasanya ateistik atau agnostik namun ada juga yang lebih menyukai ikut pemikiran  dan praktik agama Timur. Banyak juga yang naturalis seperti humanitarian, pakar lingkungan hidup/enviromentalis, dan filosof.
Para postmodernis menantang inti agama dan nilai-nilai kapitalis dunia Barat dan mencari perubahan untuk suatu era baru kebebasan dalam komunitas global. Kebanyakan mereka tinggal di bawah pemerintahan global yang non-politis, tanpa batasan suku atau bangsa dan pemerintahan yang sensitif terhadap persamaan sosioekonomis untuk semua masyarakat.  


            Postmodernisme – Benar atau Salah?
Postmodernis tidak menawarkan pemikiran tentang apa itu benar atau salah, baik atau buruk, kebaikan atau keburukan. Mereka percaya bahwa tidak ada yang namanya kebenaran absolut. Seorang postmodernis melihat dunia diluar mereka adalah kesalahan, dengan begitu, kebenaran orang lain menjadi tidak mungkin luput dari kesalahan. Jadi, tidak seorang pun yang punya otoritas atas kebenaran, atau memaksakan moral benar atau salah  pada orang lain.
Rasionalisasi diri mereka terhadap semesta dan dunia sekitar membuat mereka menguji diri mereka sendiri atas wahyu ilahi versus relativisme moral. Mereka banyak yang memilih pada naturalisme dan evolusi dibanding Tuhan dan penciptaan.     

            Posmodernisme dan Politik
Postmodernis menentang penindasan masyarakat Barat terhadap persaman hak. Mereka percaya sistem ekonomi kapitalistik tidak menyeimbangkan distribusi barang dan gaji. Ketika segelintir orang kaya semakin makmur, masyarakat lainnya hidup dalam kemiskinan. Postmodernis melihat konstitusi demokrasi sebagai substansi sumber kesalahan, tidak mungkin ditegakkan, dan tidak adil pada prinsipnya.

            Apa karakeristik Postmodernisme?
Kalau pun diurut karakteristik postmodernisme, penting diingat bahwa mereka sama sekali tidak menempatkan filsafat mereka dalam suatu kotak  atau kategori tertentu. Kepercayaan dan praktik mereka lebih bersifat personal daripada yang bisa diidentifikasi dengan bangunan atau kumpulan ketertarikan khusus Prinsip-prinsip dasar postmodernisme adalah sebagai berikut:

  • Tidak ada kebenaran yang absolut – Para pemikir posmo percaya bahwa pemahaman tentang kebenaran adalah rekaan ilusi, disalahgunakan oleh orang dan kelompok masyarakat tertentu untuk meraih kekuasaan di atas orang lain. 
  • Kebenaran dan kesalahan adalah sama – Para pemikir posmo nyatakan bahwa fakta terlalu terbatas untuk menentukan sesuatu. Karena perubahan yang tak menentu, apa yang menjadi fakta kebenaran saat ini bisa menjadi salah besok harinya.   
  • Konseptualisasi dan Rasionalisasi Diri – Logika tradisional dan objektifitas tidak berlaku dalam dunia posmo. Malahan terdapat kecenderungan lebih bergantung pada opini daripada bersandar pada fakta, karena posmodernisme tidak memberlakukan metode ilmiah.
  • Otoritas trasional adalah salah dan rusak – Posmodernis menentang kekakuan moral agama otoritas sekuler. Pemikir posmo melancarkan intelektual revolusioner untuk menyuarakan kekhawatiran mereka tentang kemapanan tradisi.
  • Kepemilikan – Para posmodernis mengklaim bahwa kepemilikan kolektif adalah yang paling memungkinkan untuk melancarkan barang dan jasa.
  • Tipuan modernisme – Posmodernis menyesalkan janji-janji tak terpenuhi sains, teknologi, pemerintah, dan agama.
  • Moralitas adalah masalah personal – Posmodernis percaya bahwa etika adalah relatif, untuk itu, moralitas dikembalikan pada opini individu. Posmodernis mendefinisikan moralitas adalah kode etik tiap-tiap individu tanpa harus mengikuti nilai dan aturan tradisional.
  • Globalisasi – Kebanyakan Posmodernis mengklaim bahwa pembatasan bangsa membawa masalah terhadap komunikasi manusia. Nasionalisme hanya akan mengakibatkan peperangan. Makanya, Posmodernis sering mengusulkan internasionalisme dan penyatuan negara yang terpecah.
  • Semua agama adalah valid – Posmodernis menghargai keimanan inklusif, cenderung pada agama NEW AGE. Mereka tidak menyetujui klaim bahwa Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan.
  • Etika Liberal – Posmodernis mendukung perjuangan gerakan feminisme dan homoseksual.
  • Pro-Gerakan Lingkungan Hidup – Mereka mendukung “Mother Earth,” dan menyalahkan masyarakat Barat atas kerusakan Bumi.
(Dari berbagai sumber wacana Posmodernisme)
           

Kamis, 04 Maret 2010

Tentang Postmodernisme Oleh:Dr. Mary Klages, Associate Professor, English Department, University of Colorado, Boulder.

Postmodernisme adalah istilah yang rumit, kumpulan ide dan gagasan, yang dulunya muncul sebagai suatu kajian akademis semenjak pertengahan 1980-an. Postmodernisme susah didefinisikan, karena posmodernisme muncul sebagai konsep di berbagai macam disiplin ilmu dan kajian, seperti seni, arsitektur, musik, film, sastra, sosiologi, komunikasi, fashion, dan teknologi. Posmodernisme sulit dilacak asal-usulnya, karena tidak jelas kapan secara pastinya posmodernisme muncul.

Barangkali cara termudah untuk memahaminya dengan cara memulainya dari modernisme, suatu gerakan yang dari sinilah postmodernisme muncul, tumbuh dan berkembang. dua aspek atau defenisi modernisme, yang keduanya relevan terhadap pemahaman postmodernisme.

Aspek atau defenisi pertama berasal dari gerakan estetika yang secara luas  berlabelkan “modernisme”. Gerakan ini melekat pada gagasan Barat tentang seni abad duapuluh (meski jejak kemunculannya dapat juga dilacak di abad sembilan belas). Modernisme, sebagaimana yang diketahui, adalah gerakan seni visual, musik, sastra, dan drama yang dulunya menolak standart nilai-nilai zaman Victoria tentang apa arti seni dan bagaimana seni seharusnya dibuat dan dikonsumsi. Pada masa “modernisme tingkat tinggi”, dari 1910 ampai 1930, bentuk utama sastra modern membantu secara radikal untuk mendefenisi ulang arti dan peran fiksi dan puisi: sosok sastrawan seperti Woolf, Joyce, Eliot, Pound, Stevens, Proust, Mallarme, Kafka, dan Rilke dianggap sebagai perintis modernisme abad duapuluh. .

Dari sudut pandang sastra, ciri utama modernisme seperti:
1. penekanan terhadap impresionisme dan subjektifitas dalam tulisan (dalam seni visual juga ); suatu penekanan pada BAGAIMANA melihat sesuatu (atau pembacaan atau persepsi itu sendiri) daripada APA yang dipersepsikan. Satu contohnya adalah penulisan dengan aliran kesadaran ( stream of consciousness ).
2. suatu gerakan yang menjauh dari kejelasan objektifitas pencerita orang ketiga yang hadir dimana saja ( omniscient third-person ), sudut pandang cerita yang bercampur, dan pemisahan posisi moral yang jelas. Cerita-cerita multi-narasi nya Faulkner adalah satu contoh dari aspek modernisme ini.
3. suatu perbedaan yang kabur antara genre sastra, sehingga suatu puisi bisa kelihatan bersifat dokumenter ( seperti dalam karya T.S. Eliot dan ee Cumming) dan prosa juga kelihatan bersifat seperti puisi ( seperti dalam karya Woolf dan Joyce).
4. suatu penekanan terhadap bentuk karya fragmen/serpihan cerita, narasi yang terputus, dan tempelan gambar acak  ( puzzle ) dari bahan yang berbeda.
5. suatu kecenderungan terhadap refeksifitas, atau kesadaran diri, tentang bagaimana menghasilkan karya seni, dengan begitu setiap bagian kecilnya membutuhkan perhatian dari suatu proses produksi karya itu sendiri, sebagai sesuatu yang dihasilkan dan dikonsumsi dalam hal-hal tertentu.
 6. suatu penolakan terhadap estetika formal dalam menghasilkan disain minimalis (seperti dalam puisi William Carlos Williams) dan suatu penolakan, dalam hal-hal yang luas, terhadap teori estetika formal, dalam kespontanitasan dan penemuan dalam menghasilkan karya.
7. suatu penolakan terhadap pembedaan “tinggi” dan “rendah” atau budaya popular, baik dalam pemilihan bahan yang digunakan untuk menghasilkan karya seni atau juga dalam metode peragaan, pendistribusian, dan pengkonsumsian seni.

Posmodernisme, seperti halnya modernisme, berkiblat pada  ide-ide serupa ini, menolak batasan antara bentuk seni tinggi dan seni rendah, menepis pembedaan genre sastra yang sudah kaku, menekankan pada pastiche, campuran bahan-bahan suatu karya seni, parodi, bricolage, ironi, dan permainan kata. Seni posmo (dan pemikiran) mendorong refleksifitas dan kesadaran diri, fragmentasi dan keterputusan (khususnya dalam struktur cerita), kemenduaan, simultanitas, dan suatu penekanan pada dekonstruksi, desentralisasi, dan dehumanisasi subjek/pokok bahasan.

Meski dalam hal-hal tertentu posmodernisme kelihatan hampir sama dengan modernisme, posmodernisme berbeda dalam sikapnya terhadap banyak kecenderungan. Contohnya, modernisme cenderung menampilkan serpihan pandangan terhadap subjektifitas manusia dan sejarah (lihat saja The Wasteland, atau karya Woolf, To The Lighthouse), tapi fragmentasi yang ditampilkan sebagai sesuatu yang tragis, yang diratapi dan ditangisi, suatu kehilangan. Kebanyakan hasil karya para modernis ini berusaha menegakkan ide-ide bahwa karya seni bisa menghadirkan kesatuan, koherensi, dan sesuatu yang ber”arti”, yang telah hilang dalam banyak aspek kehidupan modern; di sini, seni berperan dimana institusi manusia lainnya gagal melakukan tugasnya. Sebaliknya, posmodernisme tidak meratapi semua keterpecahan, kesementaraan, atau ketidak-keherensi-an, tapi posmodernisme malah merayakan semua itu. Bahwa dunia adalah tidak berarti? Tidak usah berpura-pura, bahwa seni bisa membuat sesuatu menjadi berarti, bohong besar kalau tidak begitu, tapi mari bermain dengan itu.

Cara lain dalam melihat hubungan antara modernisme dam posmodernisme akan membantu memperjelas perbedaannya. Menurut Frederic Jameson, modernisme dan posmodernisme adalah formasi budaya yang mengikuti tahap tertentu kapitalisme. Jameson memetakan tiga tahap penting kapitalisme yang melahirkan praktik budaya tertentu (termasuk bentuk seni dan sastra apa yang dihasilkan). Tahap pertama adalah kapitalisme pasar, yang muncul pada ke-18 sampai 19 di Eropa Barat, Inggris, dan Amerika (dan semua negara dekat dibawah pengaruhnya). Tahap pertama ini diasosiasikan dengan perkembangan teknologi tertentu seperti mesin tenaga uap, dan perkembangan suatu estetika, yaitunya realisme. Tahap kedua muncul pada akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20 (sekitar masa Perang Dunia ke-2); tahap ini, monopoli kapitalisme, diasosiasikan dengan mesin pembakar internal dan elektrik, dan dengan modernisme. Tahap ketiga, yang sedang kita jalani sekarang, adalah kapitalisme lintas negara atau kapitalisme konsumer (dengan penekanan pada aspek pemasaran, penjualan, dan komoditas konsumsi, tidak pada produksi), yang diasosiasikan dengan teknologi elektronik dan nuklir, dan berhubungan erat dengan posmodernisme.

Seperti halnya karakterisasi posmodernisme-nya Jameson dalam hal bentuk teknologi dan produksi, aspek kedua, atau defenisi Posmodernisme, lebih berupa kajian sejarah dan sosiologi ketimbang sastra atau sejarah seni. Pendekatan ini melihat posmodernisme sebagai nama dari suatu formasi sosial, atau suatu sikap sosial/sejarah; lebih tepatnya, pendekatan ini lebih membedakan “posmodernitas” dengan “modernitas” dibanding “posmodernisme” dengan “modernisme”.

Bedanya apa? “Modernisme” umumnya merujuk pada gerakan estetika secara luas abad 20, sedangkan “modernitas” merujuk pada suatu gagasan filosofis, politik, dan etik yang melandasi aspek estetik modernisme. “Modernitas” lebih tua dari “modernisme”, karena label “modern” pertama kali dipakai dalam sosiologi abad 19, yang diartikan untuk membedakan masa sekarang dengan masa sebelumnya, atau masa “antik/kuno”. Para ahli terus beragumen tentang kapan tepatnya periode “modern” muncul, dan bagaimana membedakan antara apa yang modern dan yang tidak modern; dan menariknya, para sejarawan melihat munculnya periode modern tersebut semakin lebih awal dari yang telah diketahui. Namun, secara umum, zaman “modern” dilekatkan pada masa pencerahan Eropa, yang kurang lebih mulai pada pertengahan abad 18. (Sejarawan lainnya melacak elemen-elemen Pemikiran Pencerahan kembali ke masa Renaisans atau bahkan lebih awal lagi, dan seorang sejarawan bisa saja berargumen bahwa pemikiran pencerahan telah mulai pada abad 18. Saya biasanya memberi penanggalan waktu “modern’ dari 1750, hanya karena saat itu saya mendapatkan gelar Ph.D saya dari Stanford dengan judul “Modern  Thought and Literature”, dan tulisan ini memfokuskan pada karya-karya yang ditulis pada 1750). Gagasan dasar Pencerahan hampir sama dengan Humanisme. Ulasan Jane Flax berikut memberikan ringkasan tentang ide dan gagasan ini (hal.41). Saya juga menambahkan beberapa hal baru.
1. Adanya diri yang stabil, koheren, bisa diketahui. Diri ini sadar, rasional, otonomis, dan universal – tidak ada kondisi fisik atau perbedaan yang secara substansi mempengaruhi bagaimana diri ini bekerja.
2. Diri ini mengetahui dirinya sendiri dan dunia melalui akal, atau rasionalitas, dan menempatkannya sebagai bentuk fungsi mental paling utama, dan sebagai bentuk tujuan objektif satu-satunya.
3. Cara mengetahui sesuatu yang dihasilkan oleh diri yang rasional objektif adalah dengan “sains”, yang bisa menghasilkan kebenaran-kebenaran universal tentang dunia, tanpa memandang status individu yang mengetahui.
4. Pengetahuan yang dihasilkan oleh sains adalah “kebenaran”, dan bersifat abadi.
5. Pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan oleh sains (diri yang mengetahui secara objektif rasinal) akan selalu menghasilkan kemajuan dan kesempurnaan. Semua institusi dan praktik manusia bisa dianalisis dengan sains (akal/objektifitas) dan dikembangkan.
6. Akal adalah penentu akhir dari apa yang benar, karenanya, penentu apa yang baik dan yang buruk (apa yang umum diterima dan apa yang etis). Kebebasan adalah patuh pada hukum yang berdasarkan pengetahuan berdasarkan akal.
7. Dalam dunia yang dikuasai akal, apa yang benar akan selalu sama dengan yang baik (dan yang indah); tidak ada konflik antara apa yang benar dan yang baik.
8. Dengan begitu, sains berdiri sebagai paradigma dalam semua hal dan dalam segala bentuk pengetahuan dalam masyarakat. Sains netral dan objektif. Ilmuwan, orang yang menghasilkan pengetahuan saintifik dengan kapasitas rasional tanpa bias, harus bebas menggunakan dalil akal, dan tidak terdorong oleh motivasi-motivasi seperti uang dan kekuasaan.
9. Bahasa, atau cara mengekspresikan sesuatu yang digunakan untuk menghasilkan dan menyebarluaskan pengetahuan harus rasional juga. Untuk itu, bahasa harus bersifat transparan, hanya berfungsi untuk menyatakan dunia yang ril/yang bisa dicerna oleh pikiran rasional. Harus ada hubungan yang tegas dan objektif antara objek persepsi dan kata yang dipakai untuk menamainya (antara penanda dan petanda). Inilah beberapa premis-premis dasar humanisme, atau modernisme. Premis-premis ini, seperti yang mungkin biasanya anda ketahui, mengatur dan menjelaskan secara keseluruhan struktur dan institusi sosial, termasuk demokrasi, hukum, sains, etika, dan estetika.

Pada hakikatnya, modernitas adalah tentang keteraturan: rasionalitas dan rasionalisasi, menciptakan keteraturan dari ketidakteraturan/chaos. Asumsinya adalah bahwa dengan lebih rasional akan membuat kondusif dalam menciptakan keteraturan, dan semakin teratur suatu masyarakat, semakin baik juga fungsi masyarakat tersebut (semakin rasional fungsi masyarakat itu). Karena modernitas berpegang pada pencapaian tingkat keteraturan terus menerus, masyarakat modern sangat menentang segala sesuatu yang berlabel “ketidakteraturan” yang akan mengganggu mereka. Masyarakat modern bergantung pada keberlanjutan munculnya pasangan yang saling berlawanan antara “keteraturan” dan “ketidakteraturan”, dengan begitu, mereka bisa menyatakan kesuperioritasan “keteraturan”. Tapi untuk melakukan hal ini, mereka harus mempunyai apa yang mewakili “ketidakteraturan” – makanya, masyarakat modern terus menerus menciptakan/membangun “ketidakteraturan” ini. Dalam budaya barat, ketidakteraturan ini kemudian menjadi “liyan/yang lain” – yang didefenisikan dari pasangan yang berlawanan diatas. Sehingga, apa dan siapa pun yang bukan warga kulit putih, waria, homoseksual/gay dan lesbian, tidak higienis dan medis, tidak rasional, dan sebagainya, adalah bagian dari “ketidakteraturan”, dan harus dienyahkan dari masyarakat modern yang rasional dan teratur. 

Apa yang dijalani masyarakat modern yang menciptakan kategori dengan label “keteraturan” dan “ketidakteraturan” berhubungan dengan usaha mereka dalam meraih kestabilan. Francois Lyotard (teoretikus posmo yang karya-karyanya digambarkan Sarup dalam artikel on postmodernisme) mengambil persamaan stabilitas dengan ide “totalitas”, atau suatu sistem yang menyeluruh (bisa dilihat disini ide Derrida tentang “totalitas” sebagai kemenyeluruhan atau kemelengkapan suatu sistem). Lyotard berpendapat bahwa totalitas, dan stabilitas, dan keteraturan dipertahankan dalam masyarakat modern dengan menciptakan “narasi besar” atau “narasi utama”, yaitunya bagaimana suatu budaya bercerita tentang dirinya sendiri tentang segala praktik dan kepercayaan. “Narasi besar” di Amerika bercerita tentang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang paling mencerahkan dan paling rasional, dan demokrasi tersebut bisa dan akan membawa kepada kebahagiaan manusia yang universal. Setiap sistem kepercayaan atau ideologi punya narasi besar, menurut Lyotard; sebagai contoh Marxisme, “narasi besar”nya  adalah bahwa ide kapitalisme akan hancur dalam dirinya sendiri dan masyarakat sosialis utopia akan berjaya. Anda bisa mengira bahwa narasi besar sebagai suatu meta-teori, atau meta-ideologi, yaitunya, suatu ideologi yang menjelaskan ideologi lainnya (sebagaimana dengan Marxisme); suatu penceritaan  untuk menjelaskan sistem kepercayaan yang ada.

Lyotard mengatakan bahwa semua aspek masyarakat modern, seperti sains sebagai bentuk utama ilmu pengetahuan, bergantung pada narasi besar ini. Jadi, posmodernisme adalah kritik terhadap narasi-narasi besar, kesadaran bahwa suatu bentuk narasi yang menutupi kontradiksi dan ketidakstabilan yang hadir tak terpisahkan dalam organisasi dan pratik sosial. Dengan kata lain, setiap usaha untuk menciptakan “keteraturan” selalu diikuti oleh munculnya “ketidakteraturan” yang setara, tapi “narasi besar” selalu menutupinya dengan mengatakan bahwa “ketidakteraturan” BETUL-BETUL suatu kekacauan dan suatu yang buruk, sedangkan “keteraturan” BETUL-BETUL ADANYA rasional dan suatu yang baik. Posmodernisme, yang menentang narasi-narasi besar, lebih mendukung “narasi-narasi kecil”, cerita-cerita yang menjelaskan praktik-praktik kecil, kejadian-kejadian lokal, daripada konsep-konsep global atau yang berskala besar dan universal. “Narasi-narasi kecil” posmodernisme selalu bersifat situasional, kondisional, dan temporer, tidak mengklaim atau memaksakan ke-universalitas-an, kebenaran, alasan, ataupun ke-stabilitas.

Aspek pemikiran Pencerahan lainnya – yang terakhir dari 9 poin di atas – adalah  ide bahwa bahasa bersifat transparan, bahwa kata-kata hanya mewakili atau menyatakan pikiran atau sesuatu, dan tidak lebih fungsinya daripada itu. Masyarakat modern bergantung pada ide bahwa penanda selalu menunjukkan petanda, dan realitas ada dalam petanda. Tapi bagi posmodernisme, yang ada hanya penanda. Idenya, realitas yang stabil dan permanen menghilang, dan bersamanya, petanda juga sirna. Bahkan lagi, bagi masyarakat posmoderisme, yang ada hanya permukaan tanpa kedalaman, hanya penanda, tanpa petanda.
Cara lain dalam memahami ini , menurut Jean Baudrillard, bahwa dalam masyarakat posmodernisme tidak ada lagi yang orisinil, yang ada hanya kopian/peniruan – atau yang disebutnya dengan istilah “simulacra”. Mungkin anda berpikir bagaimana dengan lukisan atau patung yang memang asli adanya, seperti karya Van Gogh, dan ada ribuan tiruannya, tapi yang aslinya berada pada nilai yang paling tinggi (khususnya dalam nilai moneteri). Bandingkan dengan cd atau rekaman musik yang sebenarnya tidak ada yang “orisinil”, seperti halnya lukisan – tidak satupun yang tergantung di dinding atau yang disimpan dalam kotak penyimpanan yang asli, yang ada hanya tiruan, jutaan jumlahnya, dan semuanya sama, dan semuanya dijual dengan harga yang rata-rata sama. Contoh “simulacrum” versi Baudrillard lainnya adalah konsep realitas virtual, suatu realitas yang diciptakan dengan proses simulacrum, yang mana tidak ada yang orisinilnya. Ini bisa terlihat jelas dalam permainan atau simulasi komputer, seperti Sim City, Sim Ant, dan yang lainnya.

Akhirnya, posmodernisme menaruh perhatian yang besar terdap pertanyaan organisasi pengetahuan. Dalam masyarakat modern, pengetahuan disamakan dengan sains, dan dikontraskan dengan cerita; sains pengetahuan yang baik, tapi cerita adalah buruk, primitif, tidak masuk akal (makanya diasosiasikan dengan wanita, anak-anak, masyarakat primitif, dan masyarakat yang gila). Pengetahuan adalah sesuatu yang baik pada dirinya sendiri; seseorang mendapatkan pengetahuan, dengan pendidikan, supaya berpengetahuan secara umum,  sehingga menjadi seseorang yang berpendidikan. Inilah idealnya pendidikan seni liberal. Tapi dalam suatu masyarakat posmodernisme, pengetahuan bersifat fungsional – anda mempelajari sesuatu, bukan untuk mengetahuinya, tapi untuk menggunakan pengetahuan tersebut. Sebagaimana Sarup jelaskan (hal.138), bahwa kebijaksanaan pendidikan menekankan pada aspek keahlian dan pelatihannya daripada pendidikan ideal para humanis yang kabur secara umum. Malah ini lebih akut lagi khususnya buat tamatan jurusan sastra Inggris. “Mau diapain gelar sastramu?”

Dalam masyarakat pos-modern, pengetahuan tidak hanya bercirikan asas mamfaat tapi pengetahuan juga disebarluaskan, disimpan, dan diatur dengan cara yang berbeda dengan masyarakat modern. Secara khususnya, pengembangan teknologi komputer elektronik telah merevolusikan mode produksi pengetahuan, penyebarluasan, dan konsumsi nya dalam masyarakat kita (memang, orang bisa saja berargumen bahwa posmodernisme paling tepat digambarkan, dan dihubungkan dengan munculnya teknologi komputer mulai dari 1960, sebagai kekuatan utama dalam semua aspek kehidupan masyarakat). Dalam masyarakat pos-modern, semua yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bentuk yang bisa dikenali dan dimasukkan ke dalam komputer, khususnya yang tidak bisa diubah dalam bentuk digital, tidak akan menjadi pengetahuan lagi. Dalam paradigma ini, lawan dari “pengetahuan” bukan lagi “ketidaktahuan”, sebagaimana adanya dalam paradigma modern/humanis, tapi “kebisingan/kegaduhan”. Semua yang tidak memenuhi persyaratan bentuk pengetahuan dianggap “kebisingan/kegaduhan”, yaitunya sesuatu yang tidak bisa diketahui sebagai sesuatu yang ada dalam sistem ini. 

Lyotard mengatakan (dan hal inilah yang Sarup jelaskan berpanjang lebar) bahwa pertanyaan penting buat masyarakat pos-modern adalah siapa yang memutuskan pengetahuan itu apa (dan apa yang dimaksud dengan “kegaduhan/kebisingan”), dan siapa yang mengetahui apa yang mesti diputuskan. Keputusan tentang pengetahuan tidak melibatkan kualifikasi modern lama atau para humanis: misalnya, untuk menilai suatu pengetahuan itu sebagai kebenaran (kualitas teknisnya) atau sebagai kebaikan atau keadilan (kualitas etisnya) atau sebagai suatu kecantikan (kualitas estetisnya). Malahan lagi, Lyotard berkomentar, pengetahuan mengikuti paradigma permainan bahasa, seperti yang dijabarkan Wittgenstein. Saya tidak akan mendetail ide permainan bahasa nya Wittgenstein; karena Sarup telah memberikan penjelasan konsep yang lengkap dalam artikelnya, bagi yang tertarik dalam hal ini.
Begitu banyak pertanyaan yang ditanyakan tentang posmodernisme, dan salah satu pertanyaan pentingnya adalah tentang keterlibatan politik, atau secara lebih sederhananya, apakah gerakan posmodernisme ini menuju suatu fragmentasi/pemecahan, provisionalitas/kesementaraan, penampilan permukaan, dan ketidakstabilan yang baik atau buruk? Ada bermacam jawabannya; dalam masyarakat kontemporer kita, sayangnya, keinginan untuk kembali ke era sebelum pos-modern (era modern/humanis/Pencerahan) cenderung diasosiasikan dengan grup masyarakat politik, konservatif, agama, dan filosofis. Pada kenyataannya, salah satu konsekwensi posmodernisme adalah munculnya grup masyarakat agama fundamentalis, sebagai suatu bentuk penolakan pertanyaan “narasi besar” kebenaran agama. Ini terlihat jelas (bagi kami di Amerika, tentunya) dalam masyarakat muslim fundamentalis di Timur Tengah, yang melarang buku-buku bercorak posmodern – seperti The Satanic Verses/Ayat-ayat Setan karya Salman Rushdie – karena buku-buku ini merombak narasi besar.

Asosiasi penolakan posmodernisme dan konservatif atau fundamentalisme bisa menjelaskan sekurangnya kenapa fragmentasi dan multiplisitas pengakuan posmodernisme menarik perhatian para pemikir liberal dan radikal. Makanya, para ahli teori feminis melihat posmodernisme menjadi begitu menarik, seperti yang dikemukakan Sarup, Flax, Butler.

Tapi pada level tertentu, posmodernisme kelihatan memberikan alternatif untuk mengikuti konsumsi budaya global, dimana komoditas dan bentuk pengetahuan ditawarkan dengan paksa melebihi daya kontrol individu. Alternatif ini berfokus pada pemikiran untuk bertindak seadanya dan sepenuhnya (atau perjuangan sosial) bersifat lokal, terbatas, dan parsial – tapi meski demikian, bersifat efektif. Dengan membuang ide “narasi besar” (seperti pembebasan masyarakat pekerja kelas bawah) dan memfokuskan pada tujuan spesifik lokal (seperti perbaikan pusat kesehatan untuk pekerja wanita rumah tangga dalam komunitas masyarakat tertentu), politik posmodernisme menawarkan suatu teori situasi lokal sebagai sesuatu yang mengalir dan tak terduga, meskipun tetap dipengaruhi oleh tren global. Dengan demikian, moto bagi politik posmodernisme adalah “berpikir global, bertindak lokal” – dan tidak usah khawatir tentang cerita, skema atau rencana besar apapun juga.  

Selasa, 02 Maret 2010

HIJRAH GOETHE Sang Master Penulis Jerman dan Hubungannya dengan Islam Oleh: Katharine Mommsen

Johann Wolfgang von Goethe lahir di Frankfurt, Jerman, pada 28 Agustus 1749 dan meninggal 22 Maret 1832. Goethe adalah penyair, novelis, dramawan, filosof naturalis, ilmuwan, negarawan, dan figur paling berpengaruh pada periode Romantik Jerman dan sastra pada umumnya. Pencapaiannya di berbagai bidang membawanya pada puncak orang paling berpengaruh di Jerman pada masanya. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Jerman mendirikan Goethe Institut yang menyebar di berbagai negara, termasuk Indonesia, di Jakarta.

Tulisan ini diterjemahkan dari artikel di majalah budaya Art and Thought yang diterbitkan oleh German Cultural Center Goethe Institut. Majalah enam bulanan ini berisi tentang dunia Islam global dan usaha saling komunikasi antara dunia Barat dan dunia Timur (Islam) kontemporer.


****************************


Pada pembukaan West-ostliche Divan (Dialog Barat-Timur) kita langsung dihadapkan pada suatu visi akhir dunia:

            “Utara, Barat, dan Selatan terpecah
            Singgasana musnah, Imperium  luluk lantah

            Apakah ini warta trompet Sangkala
            Hari Pengadilan? Apa pula suara sang penyair:

            Siapkan pelarianmu, masuki Timur murni
            Rasakan udara tanah para Nabi?”

Judul puisi “Hijrah” ini menghubungkan keberangkatan spiritual si penyair ke dunia Timur murni dengan pindahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah pada 622 M, kejadian yang menjadi awal tahun kalender Islam. Luar biasa, bagaimana sajak pembuka ini  ditulis, seperti terlihat dari kopi puisi Goethe, pada Desember 24 1814: pada malam Natal, ketika umat Kristen memperingati kelahiran Yesus Sang Penebus dan sebagai permulaan era Kristianitas. Suatu kebetulan aneh yang berguna untuk direnungkan, khususnya kalau seseorang mengingat bahwa Goethe besar dalam keluarga Protestan, sebagai anak dari seorang ibu yang fasih dalam Injil, dan juga memandang dirinya sebagai umat Protestan yang tahu banyak akan kitab Injil “dan tidak hanya bisa , layaknya kamus Injil berjalan, berbicara panjang lebar tentang dimana dan dalam konteks apa firman-firman ditemukan, tapi juga mengetahuinya luar kepala sumber utamanya dan  menceritakannya kapan saja”. Kutipan ini berasal dari “Catatan dan Kata-Kata” Goethe dalam Divan. Di sana Goethe menambahkan bahwa siapa saja yang akrab dengan Injil “akan terpaksa menjadi sangat berbudaya, karena ingatan, selalu ditempati oleh objek-objek yang berharga, menjaga hal-hal murni yang bisa dinikmati dan menaruhnya dalam perasaan dan penilaian”. Di sini Goethe berbicara dari pengalaman orang yang akrab dengan Kitab Injil  supaya – yang tentunya pembaca di sini bakal terkejut mengetahuinya – memberikan kesan perasaan persaudaraan dengan penyair Persia Muhammad Shamsuddin Hafiz, yang dari judul puisinya memperlihatkan penghormatan pada seorang Muslim yang saleh, yang mana “Hafiz yang dihormati” menjadi nama yang melekat pada penyair tersebut. Karya Goethe Book of Hafiz, dalam puisinya yang berjudul Beyname,  memperlihatkan dialog Goethe sendiri dengan penyair abad 14 ini. Di dalam karya Goethe ini, Hafiz berbicara tentang hubungan keakrabannya dengan Al-Qur’an dan Goethe tanpa ragu sependapat dalam hal bahwa ia - seperti juga Hafiz dengan Al-Qur’an – memahami makna esensi Kitab Suci kita…sebagai gambaran kebahagiaan iman, sekalipun tentu ada penyangkalan-penyangkalan, masalah-masalah yang tak berkenan, dan ketidak-jujuran”. Dalam karya Book of Hafiz ini, Goethe memanggil penyair Persia ini “kembarannya”. Adakah hubungan yang lebih dekat lagi, yang lebih intim dibanding hubungan kembar? Tidakkah ini menakjubkan bahwa Goethe merasakan kedekatannya  dengan Hafiz seperti sudah menjadi saudara kembar, meski mereka dipisahkan oleh rentang waktu berabad lamanya dan jarak geografis yang jauh luar biasa, bahasa dan tradisi? Karya Goethe Divan menghadirkan dengan sangat jelas “kekembaran” ini, satunya Muslim dan satu lagi Kristen, dalam dialog persaudaraan. West-ostliche Divan – Divan yang berarti “pertemuan” – terdiri dari dialog besar antara Barat dan Timur. Banyak figur Timur dimunculkan dalam karyanya ini, Nabi Muhammad, Syah Abbas Agung, Mahmud Penguasa Ghazna, Sang Penakluk Timur, Mufti Abu Sud, Sultan Salim, Sang Penyair Hafiz, Ferdusi, Jalalludin Rumi, Saadi, Mutannabi, Hatim Thai, dan banyak lagi yang lainnya. Dalam karya Goethe Divan ini, mereka berkhotbah bersama dengan anak-anak penginapan tak dikenal, pengendara keledai, pemimpin kafilah, tukang emas, penjual di pasar, dan pengemis. Di semua tempat dalam dua belas bagian buku Divan dan dalam catatan tambahan kata-kata Goethe memperlihatkan contoh kemungkinan dialog Barat dan Timur. 

Pada usia 20-an, Goethe sudah menyadari perlunya dialog yang murni antara dunia Barat dan Islam. Pada saat itu, ia mulai membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya dengan lebih dalam. Ia mengumpulkan catatan-catatan Al-Qur’an dari berbagai versi, dan sangat menyayangkan terjemahan Al-Qur’an yang baru, yang berisi jejak-jejak kebencian tradisional yang kentara terhadap Islam, dan menganggap terjemahan tersebut “hasil karya sampah”. Fakta bahwa Goethe ingin menghapus semua kebencian pada karya-karya tersebut dan usahanya memperkenalkan pemahaman Islam yang lebih baik diperlihatkannya dalam fragmen dramanya Mahomet, yang tentunya sangat berlawanan dengan gambaran kecabulan dan ketidakpahaman kehidupan Nabi Muhammad dalam drama popular Voltaire saat itu, Le fanatisme ou Mahomet le Prophete (1742). Sebagai mahasiswa di universitas Leipzig, Goethe melarang saudara perempuannya Cornellia berperan dalam suatu penampilan drama amatir karya Voltaire yang menyulut kebencian itu. Ketika ia berumur dua puluh tiga, Goethe menulis puisi tentang Nabi Muhammad, sebagai penghormatannya pada pendiri agama Islam itu dalam suatu cara yang belum pernah ada di kalangan penulis Eropa pada masanya. Selama empat dekade berikutnya, eksplorasi masa mudanya terhadap Islam diikuti dengan karyanya West-East Divan yang di dalamnya Goethe mengamati dunia Islam jauh lebih luas lagi.  

Karakteristik utama dan aspek terpenting hubungan Goethe dengan Islam terlihat secara mendasar dari sikap toleransinya. Beberapa contoh tipikal bisa terlihat di sini. Waktu berumur dua puluh dua Goethe begitu bersemangat melepaskan kekuatan puitisnya, yang ia akui sendiri dalam sebuah surat untuk Herder: “Seperti Musa dalam Al-Qur’an aku ingin memanjatkan do’a: Ya Tuhan, bukalah dadaku”. Di sini Goethe mengutip Surah 20 Al-Qur’an. Apa artinya ini secara tepatnya menjadi lebih mudah dimengerti pada pembacaan kelanjutan Surah tersebut – yang Goethe ambil pada saat yang sama dari nukilan Al-Qur’an: “Ya Tuhan, bukalah dadaku dan mudahkanlah urusanku. Lancarkanlah ucapan yang keluar dari lidahku…”  Fakta bahwa Goethe berdoa dalam bahasa Al-Qur’an saat menaruh perhatian pada sesuatu yang penting adalah sama halnya dengan panggilan puitisnya secara spontan, dan ini menimbulkan secercah cahaya nilai emosi yang ia sudah dapatkan dari Al-Qur’an semenjak tahap awal. Setengah abad kemudian penyair berumur tujuh puluhan itu secara publik menyatakan bahwa ia bergumul dengan “perayaan rasa takjub pada malam suci saat Nabi Muhammad menerima wahyu Al-Qur’an dari suatu ketinggian”. Tidak hanya kebetulan dimana ia menggunakan plihan kata seperti rasa takjub yang dalam, malam suci, dari suatu ketinggian, yang mengingatkan pada kata-kata dimana umat Kristen juga merayakan kelahiran Sang Penyelamat saat Natal.

Belakangan majalah Neue Zurcher Zeitung memunculkan pertanyaan: “Muslimkah Goethe?”,  sebagai headline dari tulisan Manfred Osten. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan jawaban gamblang ya atau tidak. Tentunya banyak argumen yang mendukung bahwa Goethe bukan seorang Muslim, tapi terdapat juga banyak deklarasi dan tindakan yang mengungkapkan bahwa ia sering dipersamakan dengan kedekatannya dengan Islam. Pada kadar tertentu, bisa dikatakan bahwa Goethe memamfaatkan kemampuan intelektual dan puitisnya untuk membangun jembatan menuju dunia Islam. Dalam karyanya Dichtung und Wahrheit (Puisi dan Kebenaran), ia sendiri meyakini bahwa ia telah ditakdirkan dari usia muda untuk bertindak sebagai mediator antara dua dunia itu: “Manusia bisa berubah kemana saja ia mau, ia bisa menjalani kehidupan apapun yang ia suka, tapi akhirnya ia akan selalu kembali pada jalan yang Alam sudah tentukan buatnya”.  Jalan dimana Alam menetapkan Goethe dan membawanya, seperti yang terlihat dalam otobiografinya, ke Timur Tengah, yang dengan pesona magisnya telah menarik Goethe saat ia masih kecil, dengan begitu dari usia dini imajinasinya telah membawanya berkelana ke negeri para Nabi di Tigris dan Efrat, tanah Jordania dan Mesir. Dalam kata-katanya sendiri, Goethe mengatakan: “(pada saat dimana ia telah) begitu senang mencari pelarian ke negeri timur”, dimana ia menemukan dirinya “dalam kesendirian yang paling dalam sekaligus persaudaraan yang erat”.

Perlu diingat bahwa inilah satu-satunya otobiografi dalam dunia sastra dimana cerita kehidupan pengarangnya sepenuhnya berkelindan dengan sejarah “negeri yang indah dan begitu dipuji-puji orang, karena alam dan lingkungannya....dan masyarakatnya beserta peristwa-peristiwa agung di belahan bumi tersebut selama kurun milenium”. Dalam karyanya Poetry and Truth, Goethe juga menyatakan ketertarikannya pada Ishmael, leluhur bangsa Arab. Ia mengetahui bahwa kelahiran putra tertua Ibrahim dari Hajar wanita Mesir sebagai “pertanda dari Sang Maha Kuasa”, sebagai pertolongan dari Malaikat Tuhan, “supaya Ishmael juga melahirkan keturunan orang-orang hebat dan janji yang paling luar biasa dari semua janji tersebut (yaitunya bahwa Ibrahim akan mempunyai keturunan sebanyak bintang di langit) tentunya terpenuhi malah jauh melebihinya.

Cerita pertengkaran saudara antara Ishmael/Ismail dan Isaac/Ishak (leluhur Yahudi), banyak sekali mengisi lembaran masa kecil Goethe, yang menandakan bahwa dari umur dininya ia sudah sadar sekali akan akar pertengkaran ini. Dalam menggambarkan konflik ini, Goethe selalu penuh kasih tapi bersifat netral; artinya, ia tidak memihak. Dalam karyanya Poetry and Truth, ia menggambarkan dengan terperinci bagaimana dan mengapa Ibrahim berjuang mendapatkan tanah Kan’an untuknya dan pengikutnya, tanah yang dari keturunannya orang Israel dan orang Arab sampai sekarang masih bertengkar saling menumpahkan darah. Otobiografi Goethe memperlihatkan pertimbangannya yang dalam pada penduduk Palestina, yang karena kedekatan mereka pada Tuhan, mereka mempertontonkan aspek barbarik “sifat liar dan kekejaman yang keluar dari sifat manusia atau kemerosotan sifat manusia”. Ia menekankan bahwa “Kitab Suci tidak bermaksud mengatakan bahwa….mereka orang-orang yang diberkati tersebut menjadi suatu model kebaikan. Mereka juga manusia dengan berbagai sifat yang berbuat kesalahan dan kelemahan, tapi semua adalah kehendak Tuhan yang menjadikan bagaimana sifat dasar seseorang yang tidak seharusnya ditimpakan semua pada suatu bangsa: kepercayaan tak tergoyahkan bahwa Tuhan memberikan perhatian khusus pada mereka dan pengikutnya”. Dalam karakterisasi ini Goethe merujuk ke bangsa Israel dan tradisi Arab Islam.

Kita tahu bahwa Goethe pada masa mudanya belajar bahasa Yiddi dan Yahudi, dan ia juga mempelajari bahasa Arab. Ia menaruh perhatian yang dalam pada Al-Qur’an semenjak ia menjadi siswa di Strasbourgh.

“Toleransi” adalah motto dalam Pencerahan. Ini sesuai dengan spirit/semangat zaman untuk memperlihatkan ketertarikan pada suatu karya atau Kitab, bersama dengan Kitab Injil, yang orang lain anggap juga suci dan makanya pantas untuk tidak diprasangka-burukkan dengan cara hormat, yang berasal dari orang dengan kepercayaan yang beda. Malahan, nukilan Goethe dari Al-Qur’an, sekitar dua ribuan ayat yang tetap bertahan, memperlihatkan dengan jelas tinjauan pribadinya jauh melampaui usaha gerakan Pencerahan dalam hal toleransi. Nukilan Al-Qur’an tersebut menunjukkan berbagai aspek Islam yang menarik rasa simpatinya yang khusus  pada saat itu, dengan kepercayaan Al-Qur’an pada Pencerahan, yang ia hubungkan dengan perasaan dan pemikirannya. Refleksi pemikiran Goethe bermula dari Surat kedua dalam Al-Qur’an, Surat yang paling ia sukai sampai masa tuanya. Pertama kali ia mengutip pikiran yang begitu indahnya dari Ayat 112 ini:

“Tidak, - barang siapa menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah dan dia berbuat amal kebaikan, - ia akan menerima pahalanya di sisi Tuhannya; mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih”.

Kutipan ini diikuti oleh ayat 115, yang mengungkapkan keyakinan mendasar Goethe tentang Manifestasi Tuhan dalam Alam:

“Milik Allah timur dan barat: ke mana pun kamu berpaling, di situlah kehadiran Allah. Allah Mahaluas, Mahatahu”.

Setelah melompat selanjutnya 50 ayat, Goethe kembali lagi menyodorkan tema mewujudnya Tuhan dalam Alam di ayat 164:

“Sungguh ! pada penciptaan langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang, pada pelayaran kapal-kapal di lautan dengan segala yang menguntungkan manusia, pada hujan yang diturunkan Allah dari langit serta dihidupkan-Nya buni setelah mati, pada binatang-binatang dari segala jenis yang ditebarkan-Nya di seluruh bumi ini; pada perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, - sungguh semua itu tanda-tanda bagi manusia yang mengerti”. 

Ayat-ayat di atas merefleksikan ajaran ke-Esa-an Tuhan yang terekam – yang bukannya tidak disengaja – dikutip Goethe dari Al-Qur’an. Goethe selalu memandang pernyataan empatis tentang monoteisme sebagai suatu pencapaian prinsipil Nabi Muhammad. Selanjutnya nukilan tenyang himbauan berbuat amal kebaikan, yang menjadi ciri utama Al-Qur’an. Banyaknya seruan berbuat amal kebaikan dalam Al-Qur’an, yang nantinya dalam karya Goethe Divan juga ditemukan, menunjukkan begitu penting buat Goethe aspek amal kebaikan ini. Ayat lainnya yang dikutip Goethe dari tahun 1771-72 berhubungan dengan Tuhan yang berbicara pada kemanusiaan melalui tidak hanya dari satu mediator tapi juga dari banyak nabi dan rasul. Dari Surat 3, ayat 144 ia mengutip:

“Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang ? Barang siapa berbalik belakang samasekali takkan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada yang bersyukur”.

Selanjutnya ia mengutip lagi dari Surat yang sama ayat 179:

“….Allah tidak akan membukakan kepadamu hal yang gaib; tetapi Ia memilih rasul-rasul-Nya. Dan kalau kamu beriman dan berbuat kebaikan (bertakwa), maka pahala yang besar itulah buat kamu”.

Goethe muda dan Lavater berselisih paham mengenai pertanyaan apakah sebagai umat Kristen hanya mengakui Yesus sebagai utusan-Nya atau tugas tersebut juga diemban oleh Nabi lainnya. Inilah sumber pertengkaran yang berujung pada tidak berhubungannya mereka lagi. Jurnal terakhir mereka menunjukkan bahwa kedua orang ini juga membahas tentang Al-Qur’an. Dalam memperbincangkan Muhammad, Goethe berusaha menjelaskan pada Lavater bahwa sejarah juga mengenal banyak sekali para pemuka pemipin agama di luar dunia Kristianitas.

Nukilan Goethe dari Al-Qur’an juga mengungkapkan ketertarikannya pada cara dan perbuatan nabi Muhammad dan posisinya bagi pengikut khususnya. Goethe merekam di sini dari Surat 29 ayat 50:

“…Katakanlah: Tandatanda mukjizat hanya ada pada Allah, dan aku hanya pemberi peringatan yang jelas”

Dan kemudian dari Surat 13 ayat 7:

“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Kenapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya?’. Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang yang memberi bimbingan”.

Sepanjang hidupnya, Goethe sangat menyukai ide ini dan terus mengulanginya lagi yang ia ambil dari Surat 14 ayat 4:

“Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya”.

Goethe mengutip ayat ini dalam sebuah surat yang ditujukannya pada seorang ilmuwan muda pada 1819: “Apa yang dikatakan dalam Al-Qur’an benar adanya: bahwa Tuhan mengirimkan utusan-Nya sesuai dengan bahasa kaumnya”. Juga dalam surat yang ditujukan untuk Thomas Caryle pada 1827: “Al-Qur’an berkata: Tuhan mengirimkan pada suatu kaum seorang utusan dalam bahasa mereka sendiri”.

Ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang diambil Goethe tentang orang-orang kafir yang mengharapkan kemukjizatan sangat mempengaruhinya selama bertahun-tahun. Bahkan pada saat karyanya Divan ia menunjukkan hal ini dengan mengutip sebuah ayat:

“Aku tak habis pikir, berkata sang Nabi
Keajaiban paling dahsyat adalah bahwa aku ada”.

Kajian Goethe tentang Al-Qur’an pada 1771 dan 1772 memberinya inspirasi untuk memikirkan tentang suatu drama yang akan dihasilkannya, Mahomet, yang sayangnya, hanya tinggal beberapa halaman penting yang tersisa. Namun, bagian-bagian karyanya ini justru memperlihatkan aspek-aspek paling penting tentang Islam yang sangat memberikan kesan kuat terhadap Goethe: terutama tentang figur Nabi Muhammad sendiri, karakter dan kisah hidup pendiri agama Islam ini, yang, tidak seperti Yesus, yang tidak hanya menyebar-luaskan ajarannya pada dunia tapi juga menunjukkan perjuangan keduniawiannya. Rasa tertarik Goethe pada fenomena sang Nabi ini tertuangkan dalam sajak khususnya yang terkenal, “Nyanyian Buat Muhammad”, yang aslinya ditulis dalam bentuk dialog puji-pujian antara Ali dan Fatimah. Goethe menulis eulogi tersebut pada musim semi 1773 setelah ia mempelajari semua buku tentang Muhammad yang ia bisa dapatkan. Metafor arus air yang sangat kuat digunakannya untuk menunjukkan aspek penting sang pendiri agama Islam dan pemimpin spiritual kemanusiaan ini.
                                    
Goethe memakai kesan (image) tersebut sebagai gambaran suatu kekuatan spiritual yang bangkit dari kesederhanaan dan kemudian menjadi mengalir, menyebar, membentang luas dan mencapai akhir kemenangan pada aliran air yang sampai pada lautan luas, yang merupakan simbol keilahian. Kesan ini terutama berdasarkan gagasan bahwa seorang agamawan jenius yang mengikut-sertakan orang lain dalam ikatan persaudaraan, seperti halnya arus air yang membawa aliran air kecil dan sungai lainnya menuju jalan ke laut luas sana. Arus air ini diperlihatkan seperti berikut ini:

“…Dan sekarang, aliran kemegahan ini,
Memasuki dataran sana
Dan sungai kecil dari tanah itu
Dan air yang mengalir dari gunung sana
Suarakan riang: Saudaraku !
Saudaraku, ajak saudaramu yang lain bersamamu
Menuju sang ayah purba,
Menuju lautan abadi,
Yang sedang menunggu kita
Dengan tangan mengajak yang terulur terbuka… “ 

Sajak ini kemudian diulangi lagi, dengan sedikit perubahan:

“Ajak saudaramu dari negeri mana saja
Ajak saudaramu yang di gunung sana
Bersamamu kita bertemu sang bapak !”

Lalu, “Nyanyian untuk Muhammad” Goethe berakhir dengan:

“Dan dibawanyalah saudara-saudaranya,
Harta berharganya, anak-anaknya
Gegap gepita dengan bahagia
Menuju penungguan pelukan di dada Sang Pencipta”.

Sajak di atas merupakan penghargaan paling penting dari seorang penyair Eropa yang pernah ada bagi Nabi pendiri agama Islam ini. Fragmen drama Mahomet yang masih tersisa sampai sekarang juga menunjukan ketertarikan Goethe dalam ajaran Kemanunggalan Tuhan, yang telah tersingkapkan pada Goethe dari nukilan-nukilan Al-Qur’an. Ia menuliskan sendiri tentang ini dalam karyanya Poetry and Truth:

“Drama ini dimulai dengan himne yang dinyanyikan sendiri oleh Muhammad di suatu malam yang indah. Pertama ia memuji bertaburannya bintang tak terhitung di langit sebagai dewa-dewa, kemudian muncullah Gad, Jupiter terpuji yang menjadi Rajanya Bintang. Tak lama sesudahnya muncullah Bulan, menjadi pemenang bagi pemuji mata dan hati. Tapi kemudian, matahari terbit membuatnya dalam kegirangan dan kekuatan yang begitu luar biasanya, dan terpanggilah ia untuk mengucapkan pujian yang baru lagi menyegarkan. Seberapa menyenangkannya perubahan ini, ia sama sekali tak terganggu. Jiwanya merasa harus melewati semuanya sekali lagi. Terangkat tinggi menuju Tuhan, Yang Maha Tunggal, Yang Abadi, Yang Tak Berbatas, yang pada-Nya semua yang terbatas ini tergantung keberadaannya. Aku menulis himne ini dengan penuh cinta, tapi akhirnya hilang…”

Mencengangkan bagaimana intens dan tepatnya sang penyair yang sudah menua ini masih mengingat karyanya pada saat manuskripnya sudah lama hilang. Baru setelah meninggalnya Goethe ditemukan kembali tulisannya ini. “Aku tidak akan bisa berbagi dengan kalian dalam hal pengalaman perasaan yang menjiwa ini”, begitu kata Goethe. Karyanya ini diakhiri dengan sebuah sajak indah, yang disuarakan dari mulut Muhammad:

“Bangkitlah hai diri, oh pujaan hati, Sang Pencipta
Jadilah Tuanku, oh Tuhanku yang kucinta
Engkau yang menciptakan Matahari, Bulan, dan Bintang-bintang,
Bumi dan Langit, dan Hamba-Mu ini”.

Sajak ini memperlihatkan rasa hormat Goethe terhadap alam yang selaras dengan ide Islam. Ia menemukan dalam Al-Qur’an keyakinannya, menuliskannya secara alegoris, bahwa manusia harus melampai dirinya di atas segala perbedaan manifestasi alam untuk mengenali Manunggalnya Tuhan. Begitu pentingnya ajaran Kemanunggalan Tuhan ini buat Goethe sehingga ia juga menuliskannya dalam suatu adegan antara Muhammad muda dengan inang pengasuhnya Halimah. Halimah pada suatu saat menemukan Muhammad sendirian di tengah malam dan merasa khawatir akan dirinya:

“Sendirian di tengah padang pasir saat malam pun tak ada yang aman dari para perampok”.

Muhammad menjawab:

“Aku tidaklah sendirian. Yang Kuasa Tuhanku mendekatiku dalam Kebaikan-Nya yang Maha”.

Halimah: “Kau lihatkah ia ?”

Muhammad: “Tidakkah engkau lihat Ia ? Ia menemuiku dalam kehangatan cinta-Nya setiap musim semi yang tentram, di bawah setiap pohon yang berbunga. Bgaimana lagi aku harus bersyukur pada-Nya ? Ia telah membuka dadaku dan membuang kotoran yang melekat di jantung hatiku supaya aku bisa menerima nama-Nya”.

Halimah: “Kamu sedang bermimpi. Bagaimana bisa dadamu terbuka sedagkan kau masih hidup ?”

Muhammad: “Aku bermohon pada Tuhanku supaya engkau mau belajar ”.

Halimah: “Siapa Tuhanmu, Hobal atau Al fatas ?”

Muhammad: “Malanglah, orang-orang yang tak beruntung ini; engkau yang menyembah batu, “aku menyayangimu”, dan pada lempung, “jadilah pelindungku”. Punya telingakah mereka untuk menjawab doa, ada tangankah mereka untuk menolong ?”

Halimah: “Ia yang berdiam dalam bebatuan, yang mengalir disekitar lempung, mereka mendengarkan aku. Kekuatannya maha besar”.

Muhammad: “Seberapa besar kekuatan mereka ? Ada lebih dari tiga ratus lagi di sampingnya, tiap-tiap mereka menerima doa dan pengorbanan. Kalau engkau berdoa menentang tetanggamu, maka mereka juga akan menentangmu, tidakkah tuhanmu seperti pangeran kecil yang daerah kekuasaannya dibingungkan, saling dihalangi jalannya dalam perseteruan yang tak bakal usai ?”

Halimah: “Jadi, Tuhanmu tak ada teman ?”

Muhammad: “Masih Tuhankah namanya kalau Ia butuh yang lain ?”

Halimah: “Dimanakah Tuhanmu ?”

Muhammad: “Dimana-mana”.

Halimah: “Tak ada dimana-mana. Bisakah tanganmu melingkupi-Nya ?”    

Muhammad: “Bahkan lebih kuat lagi, lebih keras daripada tanganmu yang harus aku berterimakasih atas cintamu. Aku belum dibolehkan menggunakannya. Halima, aku seperti anak yang engkau sapih. Aku merasakan erat-erat tangan dan kakiku dalam kain sapihanmu tapi untuk bebas bukanlah dalam kuasaku. Ya, Tuhanku, lepaskanlah manusia dari belenggu mereka sendiri. Jauh dari dalam diri, mereka rindu akan Engkau”.

Adegan ini menunjukkan begitu terperincinya kajian Goethe tentang narasi tradisional masa kecil nabi Muhammad dan bagaimana ia juga mencampur-adukkan cerita ini dalam imajinasinya sendiri.

Goethe kecil juga mempunyai rasa ketertarikan khusus pada bahasa Al-Qur’an. Dengan demikian, ia telah menempatkan pondasi yang kuat untuk meraih pengetahuan yang lebih luas lagi tentang dunia Islam di kemudian harinya, saat perkembangan yang tidak begitu menyenangkan membawanya kepada perhatian yang lebih besar pada Al-Qur’an dan, untuk berkenalan lebih banyak lagi khususnya pada penyair Islam. Goethe kelihatan terkejut ketika tentara Weimar membawakannya selembar naskah kuno beraksara Arab dari Spanyol, lembaran Al-Qur’an Surat 114. Goethe berusaha meniru tulisan kaligrafis Arab dan Persia ini. Kemudian seorang Muslim Bashkir datang ke Weimar bersama dengan tentara sekutunya dalam menentang Napoleon, dan Goethe ikut serta dalam ritual shalat dalam agama mereka ini, yang berlangsung di sekolah Protestan. Inilah pertama kalinya Goethe bertemuseorang Mullah dan mendengarkan bagaimana Al-Qur’an dibacakan dengan intonasi suara. Tidak lama setelah itu, seorang pedagang barang antik dari Leibzig, yang sedang dalam kesusahan finansial, membawakannya manuskrip timur yang sangat berharga, dan Goethe menyuruh Perpustakaan Ducal untuk membelinya setelah ia pelajari sendiri selama beberapa bulan. Tulisan kaligrafi Al-Qur’an dan kumpulan Divan dari penyair penting Persia dan Arab ini menjadi persiapan bagi Goethe untuk menghasilkan karya besarnya, setelah membaca karya Hafiz hasil terjemahan Joseph von Hammer, sebuah buku pemberian dari penerbit Cotta pada Mei 1814. Semua ini adalah persiapan untuk konsep dalam karyanya West-East Divan (Dialog Barat-Timur) sebagai respon dari karya Hafiz. Di sini Goethe kembali lagi mengambil tema puisinya yang ia tulis empat dekade sebelumnya tentang penghormatannya pada Nabi Muhammad dan agama Islam, yang dengan menuliskannya lagi ia berharap orang-orang di negerinya bisa memandang Islam secara lebih positif. Seperti halnya dalam drama Mahomet yang ia tulis pada masa mudanya, dalam Divan, Goethe kembali menghadirkan Muhammad berbicara langsung. Kebanyakan sajak dalam karya Divan berdasarkan Kitab Suci agama Islam, “pada warisan kesucian Al-Qur’an”, Goethe sendiri mengatakannya. Sajak-sajak dalam karyanya ini setengahnya berasal dari nukilan Al-Qur’an dan setengahnya lagi kata-kata Goethe sendiri, melebur sehingga menciptakan sesuatu yang secara literal bisa dinamakan “Barat-Timur-an”. Empat baris di bawah ini bisa dilihat seperti sebuah do’a pui-pujian:

“Timur adalah kepunyaan Tuhan/ Barat adalah kepunyaan Tuhan/ Negeri Belahan Utara dan Selatan juga kepunyaan-Nya/ Semua damai dalam Tangan-Nya”.

Empat baris lainnya di bawah ini juga sama dalam karakternya, memadukan unsur Al-Qur’an dan kata-kata Goethe:

“Pengelanaanku t’lah berujung sesat
Tapi Engkau tahu bagaimana membawaku kembali
Di saat aku berperilaku dan di waktu aku menulis     
Semoga Engkau selalu membimbing jalanku”.

Apa yang dimaksud dengan kata-kata “membimbing jalanku” adalah apa yang disebut oleh Muslim taat sebagai Syari’a – jalan lurus yang membawa umatnya pada Sang Sumber. Inilah arti sebenarnya dari Syari’a, sebuah kata yang telah sepenuhnya dikacaukan oleh politik Islam.

Karya Goethe ini juga memperlihatkan ketertarikannya yang sangat kuat pada ajaran Islam otentik: penyerahan diri pada kehendak Tuhan. Seperti seorang Muslim, Goethe juga mempercayai bahwa hidupnya telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, dan mengetahui penerimaan akan kehendak Tuhan adalah salah satu rukun iman. Keyakinan pada Qada (manusia bisa merubah nasib / free will) dan Qadar (pada akhirnya kehendak Tuhanlah yang berlaku dari awal / predestination) sesuai dengan ide Spinoza dalam karyanya Ethics. Spinoza adalah filosof kesukaan Goethe: dan Goethe menunjukkan sikap setianya semenjak ia menulis fragmen drama Mahomet.

Secara lebih khas, Goethe betul-betul menjiwai ajaran ini saat nasib nahas menimpa dirinya, seperti saat kematian teman dekatnya Carl August dan ia menulis pada Eckermann, mengeluh dan menolak semua bentuk penghiburan hatinya yang sedih dan mengatakan: “Tuhanlah yang menetapkan segala yang menurut-Nya baik dan kita yang fana tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya”. Secara umum, Goethe percaya pada “Takdir Tuhan (Providence)”, khususnya menyangkut masalah kematian. Dus, pada 1827 ia menulis pada Ketua Sekretaris von Muller: “Kita hidup selama Tuhan menentukannya”. Goethe berulang-ulang bicara tentang penyerahan dirinya pada takdir seperti dalam ajaran Islam. Dalam tulisannya Kampanye di Perancis (1792), ia melaporkan perilakunya selama situasi tidak aman itu sebagai berikut: “secepat datangnya bahaya besar, yang paling buta dari sifat fatalisme hadir membantuku, dan kuamati bahwa orang-orang berusaha mendapatkan panggilan berbahaya, merasakan diri mereka sendiri terbentengi dan dikuatkan oleh kepercayaan yang sama. Agama Muhammad paling menampilkan hal ini”.

Saat menantu perempuan Goethe sakit parah pada 1820, ia mengungkapkan perasaan sentimen yang sama ketika menulis pada seorang temannya: “Tak banyak lagi yang bisa kukatakan padamu, kecuali aku sudah begitu melekat dengan Islam”. Ia kembali mengungkapkan pandangannya yang sama pada 1831 saat wabah kolera menyebar: “Di sini tak seorangpun lagi yang bisa menasihati yang lainnya. Setiap orang sendirian memutuskan apa yang akan dilakukannya. Kita semua hidup dalam Islam, dalam bentuk jiwa apapun yang kita percayai”. Dan hanya empat minggu sebelum kematiannya, saat wabah kolera semakin menyebarkan mautnya, penyair berumur delapan puluh dua itu menuliskan: “Di sini, di tempat ini dan di semua negeri dimanapun, penduduknya sangat sabar karena melarikan diri (dari penyakit ini) tidaklah mungkin. Semua bentuk usaha telah terhenti. Melihat dengan lebih dekat apa yang mereka lihat bahwa orang-orang, yang mencari kebebasan dari rasa ketakutan ini, telah melepaskan diri mereka, dengan rasa hormat yang berani, jatuh dalam genggaman tangan Islam, mempercayai diri mereka pada kehendak Tuhan yang tak bisa tersakiti”.

Disini kita mengetahui bahwa Goethe betul-betul secara sadar hidup menurut ajaran dasar dalam keimanan Islam, dan bahwa ia mengekspresikan langsung pada teman-teman dekatnya tentang ajaran ini. Sudah sering diperdebatkan bagaimana pernyataan-pernyataan afirmatifnya terhadap Islam kedengaran terlalu provokatif buat  telinga orang Barat, seperti terlihat dalam bukunya Buch der Spruche (Buku Kumpulan Aforisme):

“Alangkah tak masuk akalnya saat seseorang mengagung-agungkan / pendapatnya sendiri / sedangkan Islam berarti menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan; / kita semua hidup dan mati dalam Islam”.    

Tapi dalam kenyataannya tentu tidak perlu ada orang yang terprovokasi oleh aforisme ini karena di dalamnya hanya mengatakan
1)      kata “Islam” berarti “berserah diri pada Tuhan”, dan
2)      bahwa manusia seharusnya, dapat, bisa, dan mesti akhirnya pasrah pada Tuhan, sebagai pemilik semua Kekuasaan.

Tidakkah ini berlaku untuk semua orang, tanpa melihat apa agamanya, yang telah ditetapkan semenjak ia lahir dan setelahnya ?

*Katharine Mommsen, penulis artikel ini adalah guru besar agama asal Jerman mengajar di USA. Ia telah banyak menerbitkan buku tentang Goethe dan hubungannya dengan dunia Islam pada khususnya.


Jumat, 26 Februari 2010

Panduan Prajurit Cahaya

Paulo Coelho

Diterjemahkan dari bahasa Portugis
Oleh Margaret Jull Costa




Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.
Injil Lukas 6:40



**********



Prolog


“Di laut sana di pantai sebelah barat perkampungan terdamparlah sebuah pulau, di atasnya berdiri sebuah kuil luas dengan lonceng yang banyak” kata perempuan itu.

Anak bujang kecil itu memerhatikan perempuan berpakaian aneh bertutup kepala kerudung itu. Ia belum pernah melihat perempuan itu sebelumnya. 

“Kamu pernah ke kuil itu?” perempuan itu bertanya. “Ke sanalah, ceritakan nanti bagaimana menurutmu?”

Karena terpikat kecantikannya, pergilah anak muda tanggung itu ke tempat yang dia tunjukkan. Lalu ia duduk di tepi pantai dan melempar pandangan jauh ke laut sana, tapi ia hanya melihat apa yang sudah ia lihat sebelumnya, langit biru dan lautan luas.

Dengan kecewa, berjalanlah ia ke perkampungan nelayan terdekat  dan bertanya jika ada orang yang tahu tentang pulau dan kuil itu.

“Oh, itu sudah bertahun-tahun yang lalu, sewaktu leluhur kami masih hidup”, kata seorang nelayan tua. “Saat itu terjadi gempa bumi dahsyat, dan pulau itu pun hilang ditelan lautan. Meski kami tidak bisa lagi melihat pulau itu, kami masih bisa mendengar suara lonceng kuilnya diayun gelombang laut di bawah sana”.

Lalu, si anak muda kembali ke pantai dan berusaha mendengar bunyi lonceng itu. Ia berdiam di sana sampai sore berganti malam, tapi yang ia dengar hanya suara ombak dan sahutan burung camar.

Saat malam tiba, datang orangtuanya mencari. Besok paginya, ia kembali ke pantai itu; ia tidak percaya bagaimana seorang perempuan secantik itu berbohong padanya. Sekiranya perempuan itu kembali, ia bisa saja bilang, meski belum melihat pulau itu, ia sudah mendengar lonceng kuil itu berdentang dibuai gelombang ombak.

Bulan-bulan berlalu; si perempuan belum juga kembali dan anak muda itu akhirnya melupakannya; sekarang ia yakin sepenuhnya bahwa ia mesti menemukan kekayaan dan harta karun kuil tersebut. Kalau saja ia bisa mendengar suara lonceng tersebut, tentu ia bisa mencari dimana keberadaannya dan menyelamatkan harta terpendam di bawah laut sana.

Ia pun tak berminat lagi dengan sekolah dan teman-temannya. Malah ia menjadi korban olok-olok anak-anak lainnya. Mereka bilang: “Ia tidak seperti kita. Ia lebih suka memandang laut karena ia takut kalah dalam permainan kita”.

Dan mereka semua tertawa melihat anak muda itu duduk di tepi pantai.

Meski ia masih belum bisa mendengar dentang lonceng kuil tua itu, anak muda itu belajar tentang satu hal lain. Ia mulai menyadari bahwa ia telah tumbuh terbiasa dengan suara ombak laut dan tak terganggu dengan yang lain. Semenjak itu, ia menjadi akrab dengan bunyi sahutan camar, dengungan lebah dan desauan angin di antara pohon palem.

Enam bulan berlalu setelah percakapannya dengan perempuan dulu, anak muda itu masih duduk di sana tidak mempedulikan suara apa saja  sekitarnya, tapi masih saja ia belum bisa mendengar suara lonceng dari kuil yang terbenam di laut itu.

Para nelayan datang dan bicara padanya, meyakinkannya bahwa mereka sering mendengar lonceng tersebut.

Tapi anak muda itu tak kunjung bisa.

Selang waktu kemudian, tak diduga-duga, para nelayan tersebut malah merubah nada ucapan mereka: “Kamu terlalu banyak menyita waktu untuk berpikir tentang lonceng di bawah laut sana. Lupakan saja dan kembalilah bermain lagi dengan teman-temanmu. Mungkin hanya kami nelayan yang bisa mendengarnya”.

Setelah hampir setahun, anak muda itupun berpikir: “Barangkali mereka benar. Mungkin aku hanya tertarik pada kehidupan menjadi nelayan dan mendatangi pantai ini setiap pagi karena aku mulai suka tinggal di sini”. Dan ia juga berpikir: “Barangkali juga ini hanya cerita dongeng dan lonceng itu sudah hancur selama gempa dan tak pernah berbunyi lagi”.

Sore itu, ia memutuskan pulang ke rumah.

Ia berjalan di sepanjang pantai untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia pandangi lagi alam perawan di sekitarnya dan karena ia tidak peduli lagi dengan lonceng itu, ia pun hanya bisa tersenyum memandang keindahan burung camar terbang, raungan ombak di laut dan hembusan angin di pepohonan palem. Jauh di sana, ia dengar suara canda teman-temannya bermain dan ia merasa senang memikirkan ia bakal kembali pada permainan masa kecilnya.

Anak muda tanggung itu bahagia dan – layaknya seorang anak kecil – ia bersyukur karena ia hidup. Ia yakin ia tidak menyia-nyiakan waktunya, karena ia telah belajar merenung tentang Alam dan bagaimana menghargainya.

Dan terjadilah ini, karena ia telah mendengar lautan, burung camar, angin di antara pepohonan palem dan suara canda temannya sedang bermain, akhirnya terdengar juga dentang lonceng itu untuk pertama kalinya.

Lantas terdengar lagi.

Dan terdengar lagi, lagi, dan lagi, sehingga memenuhi dirinya dengan kebahagian, karena semua lonceng kuil di bawah laut sana berdentang terus.

Tahun-tahun berlalu, saat ia telah menjadi laki-laki dewasa, ia kembali ke kampung nelayan itu dan mengunjungi pantai masa kecilnya. Ia tak lagi memimpikan menemukan harta karun di dasar laut itu; karena bisa saja semua itu hanya hasil khayalan anak kecil semata, karena yang sebenarnya ia tidak pernah mendengar lonceng yang terbenam di laut itu berdentang di sore masa kecilnya yang telah hilang dulu. Namun, ia putuskan juga berjalan di sepanjang pantai, mendengar bunyi riuh angin dan teriakan burung camar.

Tak terbayangkan kagetnya ia ketika, di sana di pantai itu, ia melihat perempuan yang bicara padanya dulu pertama kali tentang pulau misteri dan lonceng kuilnya.

“Sedang apa kau di sini?” ia bertanya.

“Aku sedang menunggumu” jawabnya.

Ia perhatikan perempuan itu, meski bertahun lamanya telah berlalu, tapi masih kelihatan persis sama seperti dulu; kerudung penutup rambutnya tak berubah warnanya dimakan waktu.

Perempuan itu mengulurkan sebuah buku catatan biru dengan halaman kosong.

“Tulislah: seorang prajurit cahaya menghargai cara pandang anak karena mereka bisa melihat dunia tanpa kepahitan. Kalau ia ingin tahu apakah orang di sampingnya baik bisa dipercayainya, ia hanya perlu melihatnya dari dunia anak kecil.”.

“Apa itu prajurit cahaya?”

“Engkau sudah tahu itu”, jawabnya sambil tersenyum. “Ia adalah seorang yang sanggup mengerti keajaiban kehidupan, berjuang tanpa henti untuk sesuatu yang ia percaya – dan yang mendengarkan dentang lonceng diayun gelombang di dasar laut”.

Ia sama sekali tak menganggap dirinya seorang prajurit cahaya. Perempuan itu seperti membaca pikirannya. “Setiap orang punya kemampuan dalam hal ini. Dan meski tak seorangpun yang tahu kalau ia adalah prajurit cahaya, tapi sebenarnya kita semua adalah prajurit cahaya”.

Ia melirik halaman kertas kosong dalam buku catatan itu. Perempuan itu kembali tersenyum.

“Tulislah tentang prajurit itu”, dia berkata.












Kitab Panduan Prajurit Cahaya

 
Seorang prajurit cahaya tahu bahwa ia banyak bersyukur dari apa yang ia punyai.

Ia dibantu dalam perjuangannya oleh malaikat; kekuatan ilahi yang berada di segala tempat, sehingga memungkinkannya memberikan yang terbaik.

Temannya bilang: “ia begitu beruntung !” Dan sang prajurit itu kadang memang bisa meraih apa saja yang jauh dari kemampuannya.

Makanya, saat matahari tenggelam, ia berlutut takjim dan berterima kasih pada Jubah Pelindung yang melingkupi dirinya.

Rasa terima kasihnya tidak hanya terbatas pada dunia spiritual; ia tak pernah lupa pada teman-temannya, karena darah mereka telah bercampur dengan darahnya dalam pertempuran.

Seorang prajurit tidak perlu diingatkan untuk menolong yang lain; ia lah orang pertama yang mengingatkan dan memastikan untuk berbagi pada mereka kehormatan yang ia terima.

**********

Semua jalan dunia menuju jantung hati prajurit; ia menceburkan diri tanpa ragu ke dalam sungai gairah yang selalu mengalir dalam hidupnya. Sang prajurit tahu ia bebas memilih apa yang diinginkannya, dan ia mengambil keputusan ini dengan keberanian, teguh pendirian, dan – kadang – kalau perlu dengan sentuhan kegilaan.

Ia rengkuh segala gairah dan menikmatinya dengan sangat. Ia tahu tak perlu menolak kuasa kesenangan; karena kesenangan adalah bagian kehidupan yang membawa kegembiraan bagi yang ikut terjun ke dalamnya.

Namun ia tak pernah hilang pandangannya pada hal-hal yang abadi atau buhul kuat tertempa waktu.

Seorang prajurit dapat membedakan mana yang fana dan mana yang bertahan lama.

**********

Seorang prajurit cahaya tidak bergantung pada kekuatan diri sediri, ia juga memamfaatkan energi lawannya.

Ketika ia memasuki arena pertempuran, yang ia punya adalah semangat dan jurus-jurus dan pukulan yang dipelajarinya selama latihan. Saat pertempuran terus berlanjut, ia sadar bahwa semangat dan segala latihan tidak memadai untuk menang: pengalamanlah yang menentukan.   

Lalu ia membuka hatinya bagi Semesta dan meminta Tuhan agar memberinya inspirasi yang ia butuhkan untuk membalas setiap serangan musuhnya menjadi suatu pelajaran pertahanan diri.

Temannya bilang: “Ia begitu takhayul. Ia berhenti bertarung hanya untuk berdoa; ia bahkan memberikan rasa hormat pada tipuan musuhnya”.

Seorang prajurit tidak terganggu oleh provokasi semacam ini. Ia tahu tanpa inspirasi dan pengalaman, sebanyak apapun latihan tak akan membantunya.

**********

Seorang prajurit cahaya tidak pernah memamfaatkan tipu daya, tapi ia tahu bagaimana membingungkan lawannya.

Meski ia sedang galau, ia gunakan setiap strategi yang didapat untuk meraih tujuannya. Saat ia tahu kekuatannya sudah hampir habis, ia buat musuhnya mengira ia hanya sedang mengulur waktu. Saat ia mesti menyerang lambung kanan, ia arahkan gerakannya ke kiri. Jika ia berniat langsung memulai pertempuran, ia malahan pura-pura letih dan bersiap tidur.

Temannya bilang: “Lihat, ia telah hilang semangat”. Tapi ia tak peduli dengan kata-kata ini karena teman-temannya tidak paham taktiknya.

Seorang prajurit cahaya tahu apa yang ia inginkan. Dan ia tidak perlu buang-buang waktu untuk suatu penjelasan.

**********

Kata-kata bijak orang Cina bicara tentang strategi prajurit cahaya:
“Yakinkan musuhmu kalau ia hanya akan mendapatkan sedikit dengan menyerangmu; karena hal ini akan mengecilkan semangatnya”.

“Jangan malu untuk mundur sementara dari medan pertempuran jika engkau lihat musuhmu lebih kuat; yang penting bukan menang atau kalah dalam suatu pertempuran, tapi bagaimana pertempuran itu berakhir”.

“Kalaupun engkau sangat kuat, jangan pernah malu untuk berpura-pura lemah; karena ini akan membuat musuhmu bertindak lalai dan menyerang terlalu cepat”.

Dalam pertempuran, kunci kemenangan adalah kemampuan untuk mengejutkan lawan”.

**********

“Aneh”, kata prajurit cahaya pada dirinya sendiri. “Aku sudah bertemu dengan banyak orang, yang, pada kesempatan pertama, mereka mencoba memperlihatkan sifatnya yang paling jelek. Mereka sembunyikan kekuatan dari dalam diri dibalik penyerangan; mereka sembunyikan rasa takut kesendirian dibalik udara kebebasan. Mereka tidak percaya pada kemampuan mereka sendiri, tapi malah terus mengumandangkan nilai-nilai kebaikan mereka.    

Sang prajurit membaca pesan-pesan ini dalam diri setiap laki-laki dan perempuan yang ia temui. Ia tak pernah tertipu oleh penampilan dan ia hanya akan diam saat orang-orang berusaha membuatnya terkesan. Dan ia gunakan peristiwa itu untuk membetulkan kesalahannya sendiri, karena dari orang lainlah ia dapatkan cermin yang cemerlang.

Seorang prajurit mengambil setiap kesempatan untuk mendidik dirinya sendiri.

**********

Prajurit cahaya kadang bertarung dengan orang-orang yang ia sayangi.

 Orang yang melindungi teman-temannya tak pernah merasa berat oleh badai kehidupan; ia cukup kuat untuk melewati rintangan untuk maju terus.



Meski begitu, ia sering dihadapkan oleh tantangan dari orang-orang yang dari mereka ia berusaha mengajarkan seni bermain pedang. Anak muridnya selalu menghasutnya untuk bertarung dengan mereka.

Dan lalu, sang prajurit memperlihatkan kebolehannya: hanya dengan beberapa kali jurus ia melucuti murid-muridnya, dan harmoni pun kembali ke asal dimana mereka bertemu.

“Kenapa saudara melakukan itu, padahal Anda jauh lebih baik daripada mereka?” bertanya seorang pengelana.

Karena dalam menantang saya, apa yang sebenarnya mereka inginkan adalah bicara dengan saya dan beginilah caranya saya menjaga dialog tetap terbuka”, jawab sang prajurit.

**********

Sebelum berangkat menuju medan tempur penting, seorang prajurit cahaya bertanya pada dirinya sendiri:

“Sudah seberapa jauhkah saya mengembangkan kemampuan saya?”

Ia sadar ia telah banyak belajar dari setiap pertempuran yang ia masuki, tapi kebanyakan pelajaran tersebut malah membuatnya menderita yang tak perlu. Lebih dari sekali ia habiskan waktunya pertarung untuk suatu kebohongan. Dan ia menderita karena orang-orang yang tak pantas menerima cintanya.

Para pemenang tak pernah membuat kesalahan dua kali. Makanya sang pejuang hanya mempertaruhkan nyawanya untuk sesuatu yang berharga.

**********

Seorang pejuang cahaya menghormati ajaran utama I Ching: “kegigihan itu menguntungkan”.

 Ia tahu bahwa kegigihan tidak sama dengan kebandelan. Ada saatnya pertempuran tidak perlu dilanjutkan lagi, yang hanya akan mengeringkan kekuatan dan semangatnya.

Pada momen tertentu, sang pejuang berpikir: “Pertempuran yang diperpanjang akan berujung dengan kehancuran sang pemenang juga”.

Lantas ia menarik kembali kekuatannya dari pertempuran untuk merehatkan diri. Ia gigih dalam keinginannya, tapi ia tahu ia harus menunggu waktu yang paling tepat untuk menyerang.

Seorang pejuang selalu kembali ke medan tempur. Ia tidak pernah mengerjakan hal itu dengan kebandelan, tapi karena ia selalu mengamati perubahan alam.

**********

Seorang pejuang cahaya tahu bahwa ada momen tertentu yang bisa  terulang kembali.

Ia sering dihadapkan dengan masalah dan situasi yang sama, dan karena melihat situasi sulit itu kembali, ia pun merasa tertekan, berpikir kalau ia tak mampu membuat kemajuan dalam hidup.

“Aku sudah melewati semua ini sebelumnya”, ia berkata pada hatinya.

“Ya, kau sudah melewati semua ini sebelumnya”, jawab hatinya. “hanya saja kau belum pernah melampauinya”.

Lantas sang prajurit menyadari bahwa pengalaman berulang tersebut hanya ada satu tujuannya: untuk mengajarinya apa yang tidak ingin dipelajarinya.

**********

Seorang prajurit cahaya tidak pernah bisa ditebak.

Ia bisa saja menari di jalan menuju tempat kerjanya, menatap mata orang asing dan bicara tentang cinta pada pandangan pertama, atau juga bertarung mempertahankan pendapat yang jelas-jelas tidak masuk akal. Pejuang cahaya melakukan hal-hal  seperti ini juga.

Ia tak segan-segan menangis pilu karena kesedihan purba atau merasa riang gembira karena menemukan sesuatu yang baru. Kalau ia merasa momennya sudah tiba, ia buang semua yang ada dan langsung berangkat untuk petualangan impian panjang. Kalau ia sadar ia tak bisa berbuat apa apa lagi, ia tinggalkan pertempuran, tapi tidak pernah menyalahkan diri sendiri karena berjanji beberapa tindakan tak terduga yang bodoh.

Seorang pejuang tidak menghabiskan hari-harinya memainkan peran yang dipilihkan orang lain buat dirinya.

**********

Pejuang cahaya selalu menjaga pancaran cahaya di matanya.

Merekalah dunia ini, mereka adalah bagian dari kehidupan orang lain dan mereka berkelana tanpa tas dan sandal. Mereka kerapkali penakut, Mereka tidak selalu membuat keputusan yang benar.

Mereka menderita karena hal-hal yang paling remeh temeh, mereka punya pikiran yang jahat dan kadangkala percaya kalau mereka tidak punya mempuan untuk tumbuh berkembang. Seringkali mereka menganggap diri mereka tak berharga dari anugerah atau keajaiban hidup.

Mereka tidak selalu yakin dengan apa yang dilakukannya di sini. Bermalam-malam tanpa tidur mereka lewatkan, percaya bahwa hidup mereka tak berarti apa-apa.

Itulah sebabnya mereka menjadi prajurit cahaya. Karena mereka berbuat kesalahan. Karena mempertanyakan diri mereka sendiri. Karena mencari suatu alasan – dan meyakini bisa menemukannya.

**********

Prajurit cahaya tidak mengkhawatirkan hal itu, bagi orang lain, perilakunya mungkin kelihatan agak gila.

Ia bicara lantang pada dirinya sendiri saat sendirian. Orang bilang padanya bahwa inilah cara terbaik dalam berhubungan dengan para malaikat, dan ia ambil kesempatan ini dan berusaha melakukannya.

Awalnya, ia merasakan sangat kesulitan. Ia beranggapan bahwa tak ada apapun yang ingin dikatakan, karena ia hanya mengulang-ulang celoteh tak bermakna. Meski begitu, sang prajurit tak mau menyerah. Ia lewatkan seharian bicara pada hatinya. Ia katakan hal-hal yang ia tidak setujui, seperti mungucapkan omong kosong.

Suatu hari, ia amati ada perubahan pada suaranya. Ia menyadari bahwa ia telah bertindak seperti sebuah saluran mengalirnya kebijaksanaan yang tinggi.

Sang prajurit bisa jadi kelihatan gila, tapi ini hanyalah samarannya.

**********

Seperti kata seorang penyair: “Prajurit cahaya memilih musuhnya”.

Ia tahu bahwa ia punya kemampuan; jadi ia tidak perlu lagi keluar dunia sana membanggakan kualitas dan nilai kebaikan dirinya yang tinggi. Namun, ada saja orang yang berusaha membuktikan kalau ia lebih baik daripada dirinya.

Bagi sang prajurit, tak ada yang namanya “lebih baik” atau “lebih buruk”: karena setiap orang mempunyai bakat yang mesti ada bagi jalan dirinya yang khusus pula.

Tapi masih saja ada orang yang bersikeras. Pada kondisi ini, hatinya lalu berkata: “Jangan tanggapi penghinaan ini, karena tidak akan meningkatkan kemampuanmu. Engkau hanya akan membuat dirimu letih sendiri”.

Seorang prajurit cahaya tidak membuang-buang waktunya mendengarkan hasutan; karena ia sudah punya takdir yang akan dipenuhi.   

**********

Seorang prajurit cahaya mengingat kata-kata dari John Bunyan:

“Meski aku sudah selesai dengan apa yang kupunyai, aku tidak menyesali segala kesusahan yang kutemui, karena pengalaman itulah yang telah membawaku ke tempat yang ingin kucapai. Dan yang kupunyai sekarang adalah pedang ini dan akan kuberikan pada siapa saja yang ingin melanjutkan ziarahnya.

Kubawa bersamaku bekas luka dan goresan pertempuran yang akan membuka gerbang Surga untukku. Ada saatnya dulu aku selalu mendengarkan kisah-kisah tentang keberanian. Ada masanya dulu aku hanya hidup karena aku harus hidup. Tapi sekarang aku hidup karena aku seorang prajurit, karena aku berharap suatu hari nanti bisa manjadi teman dekatNya yang dengan tegar kuperjuangkan”.
**********

Momen dimana ia mulai menjalaninya, sang pejuang cahaya akhirnya mengenal Jalannya.

Setiap batu dan tikungan menangis menyambutnya. Ia mengenali gunung-gunung dan aliran sungai, ia melihat sesuatu dari jiwanya pada tanaman dan hewan dan burung-burung di padang luas.

Lalu, diterimanya pertolongan Tuhan dan Tanda-TandaNya, ia biarkan Legenda Pribadi menuntunnya menuju bakti kehidupan yang t’lah disediakan untuknya.

Pada malam-malam tertentu, tak ada tempat buatnya untuk tidur, bagi orang lain yang melihatnya, ia menderita insomnia. “Begitulah adanya”, pikir sang prajurit. “Akulah orangnya yang memilih ikut jalan ini”.   

Dalam kata-kata inilah terletaknya semua kekuatannya: ia memilih jalan yang ia jalani dan ia tak mengeluh karenanya.

**********

Mulai sekarang – dan untuk beberapa ratus tahun mendatang – Semesta akan membantu prajurit cahaya dan mengahalangi prasangka.

Energi Bumi mesti diperbaharui.

Gagasan baru perlu ruang untuk ditempati.

Tubuh dan jiwa butuh tantangan baru.

Masa datang telah menjadi masa sekarang, dan setiap impian – kecuali keinginan yang penuh prasangka – akan mendapat kesempatan untuk didengar.

Semua yang penting akan tetap tinggal; dan yang tak berguna akan menghilang.

Meski begitu, bukan tanggung jawab prajurit untuk menilai impian orang lain, dan ia tak membuang-buang waktunya mengkritik keputusan orang lain.

Untuk menjaga keyakinannya tetap berada dalam jalan hidupnya, ia tak perlu membuktikan bahwa jalan hidup orang lain salah.

**********

Seorang prajurit cahaya berhati-hati mempelajari posisi yang ingin ia taklukkan.

Sesulit apapun tujuannya, selalu ada cara untuk mengatasi segala aral rintangan. Ia cari jalan alternatif, ia asah pedangnya, ia penuhi hatinya dengan kegigihan untuk menghadapi tantangan.

Tapi begitu ia maju terus, sang prajurit tahu bahwa ada kesulitan yang tidak ia perhitungkan sebelumnya.

Kalau ia tunggu saat yang paling baik, ia tak akan bisa bergerak terus; ini menghendaki sentuhan kegilaan untuk mengambil langkah selanjutnya.

Sang prajurit menggunakan sentuhan kegilaan itu. Karena – dalam cinta dan pertempuran – tak mungkin bisa mengetahui segala sesuatu di masa mendatang.

**********

Seorang prajurit cahaya sadar akan kesalahannya. Tapi ia juga tahu keunggulannya.

Beberapa temannya mengeluh sepanjang waktu karena menganggap “orang lain punya kesempatan yang lebih daripada kita”.

Mungkin mereka benar, tapi prajurit cahaya tidak membiarkan dirinya dilumpuhkan oleh hal semacam ini; ia selalu memamfaatkan segala keutamaannya.

Ia tahu bahwa keutamaan kijang terletak pada kakinya. Kekuatan burung camar terlihat pada akuratnya mereka menyambar seekor ikan. Ia sudah pelajari alasan kenapa harimau takut pada hyena karena ia menyadari kekuatannya sendiri.         

Ia coba bangun apa yang betul-betul bisa ia percaya. Dan ia selalu periksa tiga hal yang dibawa bersamanya: keyakinan, harapan dan cinta. Jika tiga hal ini ada disana, ia tak ragu-ragu lagi untuk maju terus.
**********

Prajurit cahaya tahu bahwa tak seorangpun yang bodoh dan kehidupan adalah guru setiap orang – meski selama yang tak terkira.

Ia selalu melakukan yang terbaik dan mengharapkan yang terbaik untuk orang lain. Dengan kedermawanannya, ia selalu perlihatkan pada orang lain begitu banyaknya yang mereka bisa raih.

Beberapa temannya bilang: “Ada saja orang yang tidak tahu berterima kasih”.

Sang prajurit tidak hilang semangatnya karena kata-kata ini. dan ia tetap mendorong orang lain karena dengan begitu juga berarti mendorong dirinya sendiri.

**********

Setiap prajurit cahaya merasakan ketakutan terjun ke medan tempur.

Setiap prajurit, pada suatu waktu di masa lalu, berbohong atau mengkhianati seseorang.

Setiap prajurit cahaya pernah melangkah di jalan yang bukan miliknya.

Setiap prajurit cahaya pernah menderita karena alasan-alasan yang sepele.

Setiap prajurit cahaya, paling tidak sekali, pernah percaya bahwa ia bukan seorang prajurit cahaya.

Setiap prajurit cahaya pernah gagal dalam menunaikan kewajiban spiritualnya.

Setiap prajurit cahaya pernah berkata “ya” saat ia ingin mengatakan “tidak”.

Setiap prajurit cahaya pernah menyakiti seseorang yang ia sayangi.

Makanya ia menjadi prajurit cahaya, karena ia telah menjalani semua ini dan tidak pernah hilang harapan menjadi lebih baik darinya.

**********

Prajurit cahaya selalu menyimak kata-kata para pemikir bestari, seperti dari T.H. Huxley:

“Konsekwensi dari tindakan kita adalah kebodohan manusia sawah dan mercusuar bagi orang-orang bijak”.

“Papan catur adalah dunia ini; bidaknya adalah gerak laku kehidupan seharian kita: aturan mainnya adalah apa yang kita namakan dengan hukum Alam. Sang pemain di sisi lainnya tersembunyi dari kita, tapi kita tahu bahwa permainannya selalu jujur, adil dan sabar”.

Sang prajurit hanya perlu menerima tantangan ini. Ia tahu Tuhan tidak pernah mengabaikan satu kesalahan sekalipun dari orang-orang yang dicintaiNya, tidak juga Ia menerima orang yang disukaiNya berpura-pura tidak tahu aturan permainan ini.